small rss seocips Music MP3
Let's listening The Music O.K Guys!!!

Jumat, 29 November 2013

Teori Ketergantungan 1


NAMA           : RIFKI MASRONI
NIM                : 12230007
PRODI           : PMI
TEORI KETERGANTUNGAN 1

Pada bab ini, kita akan membahas teori-teori yang masuk dalam kelompok Teori Struktural. Teori ini menolak jawaban yang diberikan oleh teori modernisasi. Teori Struktural berpendapat bahwa kemiskinan yang terdapat di negara dunia ketiga yang mengkhususkan diri pada  produksi pertanian adalah akibat dari struktur perekonomian dunia yang bersifat eksploitatif, di mana yang kuat melakukan eksploitasi terhadap yang lemah. Maka, surplus dari negara-negara Dunia Ketiga beralih ke negara-negara industri maju. Menurut Teori Struktural, perdagangan dunia yang bebas justru merupakan wadah praktek eksploitasi ini. Perdangan dunia yang bebas dapat diibaratkan seperti persaingan dua tim sepakbola. Tim yang sukses dan lebih kaya, pada akhirnya akan membeli pemain-pemain terbaik dari tim yang lemah. Akibatnya, tim yang lemah bukan saja dikalahkan dalam persaingan, tetapi juga akan terus mundur dan akhirnya hancur, karena unsur-unsur yang potensial bagi tim ini untuk maju direbut oleh tim yang lebih kuat.
1.      SERBA SEDIKIT TENTANG TEORI STRUKTURAL
Teori Struktural sebenarnya merupakan teori-teori yang memakai pendekatan struktural. Pendekatan ini:
Menekankan lingkungan material manusia, yakni organisasi kemasyarakatan beserta sistem imbalan-imbalan material yang diberikannya, perubahan-perubahan pada lingkungan material manusia termasuk perubahan-perubahan teknologi. Lingkungan material ini dianggap sebagai faktor yang lebih penting daripada keadaan psikologi dan nilai-nilai kemasyarakatan yang ada dalam mempengaruhi tingkahlaku manusia.
Dengan demikian, Teori Struktural mencari faktor-faktor lingkungan material manusia sebagai faktor yang menyebabkannya. Teori Struktural seringkali dianggap bersumber pada teori yang dilontarkan oleh Karl Marx, terutama teorinya tentang bangunan bawah atau base dan bangunan atas atau superstructure.
Teori yang tergolong kedalam teori struktural, yakni Teori Ketergantungan, lahir dari dua induk. Induk pertama adalah seorang ahli ekonomi liberal: Raul Prebisch. Induk kedua adalah teori-teori Marxis tentang emperialisme dan kolonialisme, serta seorang pemikir Kedua induk ini adalah para pemikir pendahulu dari teori Ketergantungan.
I.                   Raul Prebisch: Industri Subtitusi Impor
Raul Prebisch adalah seorang ahli ekonomi liberal, yang menjadi sekretaris eksekutif sebuah lembaga PBB yang didirikan pada tahun 1948 di Sintago de Chile. Tahun 1935 sampai 1943 sebagai seorang Presiden Direktur Bank Sentral Argentina. pada tahun 1950 menjadi Direktur ECLA. Pada tahun 1950, beliau menerbitkan karyanya yang berjudul The Economic Development of Latin America and its Principal Problem. Karya ini, yang dianggap sebagai karya pertama dari teori ketergantungan, kemudian dikenal sebagai Manifesto ECLA. Pada karya tersbut seperti yang dikutib oleh Blostrom dan Hettne menuliskan:
Di Amerika latin, kenyataan sedang mengingkari Teori Pembagian Kerja Secara Internasional yang sudah ketinggalan jaman; teori ini memang mencapai kejayaan pada abad ke-19, tetapi memang masih terus berpengaruh sampai belakangan ini. Di bawah sekema teori ini, Amerika latin mendapat tugas khusus, sebagai negara pinggiran dalam sistem perekonomian dunia, untuk memprduksi makanan dan bahan mentah bagi negara-negara industri di pusat. Tak ada tempat bagi industri-alisasi untuk negara-negara baru ini. Tetapi serangkaian peristiwa telah memaksa negara-negara ini untuk melakukan industrialisasi. Dua perang dunia dan sebuah krisis ekonomi besar di antara kedua perang tersebut, yang terjadi dalam satu generasi, telah membuka mata orang-orang Amerika latin bahwa mereka memiliki kesempatan untuk melakukan industrialisasi.
Dari pernyataan di atas, tampak jelas adanya dua pendapat yang penting. Pertama, kritiknya terhadap sistem perdagangan internasional yang bebas. Kedua, hambatan industrialisasi, dan karena itu juga hambatan terhadap pembangunan, disebabkan oleh faktor-faktor eksternal. Ini jelas berbeda dengan tesis Teori Modernisasi.
Menurut Prebisch, adanya Teori Pembagian Kerja Secara Internasional, yang didasarkan pada  Teori Keunggulan Komparatif, membuat negara-negara di dunia melkukan spesialisasi produksi dan ini mengakibatkan pembagian kelompok negara menjadi dua bagian kelompok, negara-negara pusat yang menghasilkan barang industi, dan ngara-negara pinggiran yang memproduksi hasil-hasil pertanian. Keduanya saling melakukan perdagangan, dan menurut teori diatas seharusnya negara-negara tersebut saling beruntung dan sama kaya namun kenyataannya tidak. Mengapa?
Prebisch mengatakan bahwa ini terjadi karena penurunan nilai komoditi pertanian terhadap komoditi barang industri. Barang industri semakin mahal dibandingkan barang pertanian. Akibatnya terjadi Defisit pada neraca perdagangan negra pertanian apabila mereka berdagang dengan negara industri. Dan defisit ini makin lama semakin besar. Disini maka berlaku hukum engels, yang menyatakan bahwa pendapatan yang meningkat menyebabkan prosentasi konsumsi makanan terhadap pendapatan menurun. Artinya, pendapatan yang naik tidak akan menaikkan konsumsimakanan, tetapi justru menaikkan konsumsi barang-barang industri. Oleh karena itu, Prebisch menyimpulkan bahwa ketebelakangan negara Amerika latin tetap berlangsung karena negara-negara ini telalu ngandalkan ekspor barang-barang primer, kesimpulan ini kemudian dikenal dengan istilah Tesis Prebisch-Singer.
II.                Pedebatan tentang Imperialisasi dan Kolonialisme
Pemikiran tentang imperialisasi dan kolonialisme bergumul dengan pertanyaan: mengapa bangsa-bangsa di Eropa melakukan ekspansi keluar dan menguasai bangsa-bangsa lainnya, baik secra politis maupun secara ekonomis. Apa yang menjadi dorongan utamanya?
Ada tiga kelompok teori yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan ini, yakni:
(1)   Kelompok teori yang menekankan idealisme manusia dan keinginannya untuk menyebarkan ajaran Tuhan, untuk menciptakan dunia yang lebih baik.
(2)   Kelompok teori yang menekankan kehausan manusia terhadap kekuasaan, untuk kebesaran pribadi maupun kebesaran masyarakat dan negaranya.
(3)   Kelompok teori yang menekankan pada keserakahan manusia, yang selalu berusaha mencari tambahan kekayaan, yang dikuasai oleh kepentingan ekonomi.

Ketiga kelompok teori ini dirumuskan sebagai kelompok-kelompok teori God (Tuhan, yang melambangkan keinginan manusia untuk menyebarkan agama untuk menciptakan dunia yang lebih baik), teori Glory (kebesaran, yang melambangakan kahausan manusia akan kekuasaan), dan teori Gold (emas, yang melambangkan keserakahan manusia akan harta).

III.             Paul Baran: Sentuhan yang Mematikan dan Kretinisme
Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa Paul Baran adalah seorang pemikir Marxis yang menolak pandangan Marx tentang pembangunan di negara-negara dunia ketiga. Bila Marx mengatakan bahwa sentuhan negara-negara kapitalis maju kepada negara-negara pra-kapitalis yang terbelakang akan membangunkan negara-negara yang terakhir ini untuk berkembang seperti negara-negara kapitalis di Eropa, Baran berpendapat lain. Baginya, sentuhan ini akan mengakibatkan negara pra-kapitalis tersebut bertambah kemajuannya dan akan terus hidup dalam keterbelakangan. Pandangan atau teori Baran ini dituangkannya dalam bukunya yang tekenal, The Political Economy of Growth, sebuah study tentang dampak kolonialisme di india yang diterbitka oada tahun 1957.
      Dengan pendapatnya ini, berbeda dengan Marx, Baran menyatakan bahwa perkembangan kapitalisme di negara-negara pinggiran berbeda dengan perkembangan kapitalisme di negra-negara pusat. Di negara pinggiran, sistem kapitalisme seperti terkena penyakit kretinisme. Orang yang dihinggapi penyakit ini tetep kerdil dan tidak bisa besar.
      Mengapa negara-negara yang menjadi korban imperialisme tidak bisa mengembangkan dirinya, berbeda dengan kapitalisme yang menggejala di negara-negara pusat dulu? Menurut Baran kapitalisme di negara-negara pusat bisa berkembang karena adanya tiga faktor atau prasyarat:
(1)   Meningkatnya produksi diikuti dengan tercabutnya masyarakat petani dari pedesaan.
(2)   meningkatnya produksi komoditi dan terjadinya pembagian kerja mengakibatkan sebagian orang menjadi buruh, dan yang lainnya menjadi majikan.
(3)   Mengumpulnya harta di tangan para pedagang dan tuan tanah.
Faktor ketiga itulah yang membuat kapitalisme dimungkinkan di Eropa. Surplus yang ada di tangan para pedagang dan tuan tanah kemudian diinvestasikan ke bidang industri. Sementara yang terjadi di negara-negara pinggiran sebaliknya.
Pada bagian ini dibahas teori-teori yang merupakan pendahuluan bagi munculnya Teori Ketergantungan. Teori Ketergantungan memakai pendekatan struktural. Karena itu, teori itu dapat digolngkan kedalam kelompok Teori Struktural.
Teori Struktural sendiri memang berpangkal pada filsafat yang dikembangkan oleh Karl Marx. Teori ini membantah tesis Marx yang menyatakan bahwa kapitalisme akan menjadi cara produksi tunggal, dan menciptakan proses maupun struktur masyarakat yang sama di semua negara yang ada di dunia ini. Seperti yang diuraikan mula-mula oleh Prebisch, kemudian oleh Baran, kapitalisme yang berkembang di negara-negara yang menjadi korban imperialisme, tidak sama dengan perkembangan kapitalisme dari negara-negara imperialis yang menyentuhnya. Kapitalisme di negara pinggiran merupakan kapitalisme yang sakit, yang sulit berkembang. Dia mempunyai dinamika yang berlainan. Karena itu, dia harus dipelajari dirinya sendiri, sebagai sesuatu yang unik. Kalau kita hanya menerapkan saja teori-teori dan konsep-konsep yang berlaku di negara-negara kapitalis pusat, mungkin kita tidak pernah dapat memperoleh pemahaman yang benar tentang dinamika dan proses kapitalisme pinggiran ini.
Pendapat Marx yang menyatakan bahwa negara-negara pra-kapitalis di Asia adalah seperti seorang puteri cantik yang masih tidur, yang sedang menunggu ciuman seorang pangeran tampan untuk membangunkannya, memang ada benarnya. Pangeran tampan ini adalah negara-negara kapitalis industrial yang sudah maju. Ciumannya adalah imperialisme. Setelah dicium, si putri cantik memang terbangun. Tetapi Marx rupanya tidak sampai mengira bahwa hidup sang putri yang sudah bangun ini selalu dalam keadaan tidak sehat, karena ciumannya beracun.

MASYARAKAT TRADISIONAL & MODERN


Nama : RIFKI MASRONI

NIM    : 12230007
Prodi   : PMI

MASYARAKAT TRADISIONAL DAN MASYARAKAT MODERN



A.    Arti Masyarakat

Masyarakat menurut Gillin dan Gillin adalah sekelompok manusia yang mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan. Sedangkan menurut Selo Soemardjan adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Dari beberapa pakar ahli sosiologi diatas maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat merupakan sekelompok orang atau manusia yang mempunyai sifat yang kompleks dan hubungannya diikat oleh kesatuan persamaan yang sangat erat.

B.     Pembagian Masyarakat

Dilihat dari sisi materi atau pengetahuannya masyarakat dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu masyarakat tradisional (desa) dan masyarakat modern (kota). Oleh karena itu kita perlu mengetahui apa itu masyarakat tradisional dan masyarakat modern.

a.      Masyarakat Tradisional

Masyarakat tradisional yaitu masyarakat yang kehidupannya masih diikat oleh adat istiadat nenek luhurnya atau adat istiadat yang lama. Oleh karena itu masyarakat tradisional tidak mendapatkan perubahan yang mendasar dari perubahan-perubahan yang ada dalam masa sekarang ini, walau memang tidak menutup kemungkinan masyarakat tradisional sekarang sudah mengetahui tentang teknologi yang canggih namun mereka hidup masih menggunakan dasar adat istiadat leluhur mereka. Dan yang lebih menonjol dari masyarakat tradisional yaitu mereka hidup di daerah pedesaan yang secara geografis terletak dipedalaman yang jauh dari keraimain. Masyarakat tradisional merupakan masyarakat yang bisa kita juluki dengan nama masyarakat “paguyuban”. Masyarakat tradisional sangat erat atau rukun dalam proses berkomunikasi dalam lingkunganya, interaksi diantara mereka itu sangat erat sekali.

  
Adapun ciri-ciri kehidupan masyarakat tradisional adalah sebagai berikut:

1.      Memiliki jiwa tolong menolong

Sistem tolong menolong dalam masyarakat tradisional atau pedesaan identik dengan sukarela. Seperti contohnya dalam hal pertanian, disini bantuan dalam pekerjaan pertanian tidak disewakan tetapi yang diminta dari sesama warga. Dalam hal ini kompensasinya itu bukan bagian dari hasil pekerjaan, juga bukan upah, tetapi tenaga bantuan juga. Aktifitas-aktifitas tolong menolong tampak terlihat sekali dalam lapangan kehidupan masyarakat seperti halnya dalam aktifitas kehidupan rumah tangga, dalam menyiapkan dan melaksanakan pesta atau upacara, dan dalam hal kecelakaan dan hal kematian dan kesemuanya identik dengan kesukarelaan (tanpa pamrih).

2.      Suka gotong royong

Di samping adat istiadat tolong menolong antara warga desa dalam berbagai macam lapangan aktivitas-aktivitas sosial, baik yang berdasarkan hubungan tetangga, ataupun hubungan kekerabatan atau lain-lain hubungan yang berdasarkan efisiensi dan sifat praktis. Ada pula aktivitas-aktivitas bekerjasama yang lain yang secara populer biasanya disebut dengan istilah gotong royong. Hal ini adalah aktivitas bekerjasama antara sejumlah besar warga desa untuk menyelesaikan proyek tertentu yang dianggap berguna bagi kepentingan umum. Untuk membedakan aktifitas-aktifitas tolong menolong itu, ada baiknya aktifitas-aktifitas sosial tersebut kita sebut kerja bakti, atau kita kalau mau memakai istilah “gotong royong”, maka aktifitas-aktifitas yang lain itu disebut secara konsekuen “tolong menolong”, seperti apa yang kami lakukan dalam uraian di atas itu. Mengenai gotong royong kerja bakti kita harus juga membedakan antara (1) kerjasama untuk proyek-proyek yang timbul dari inisiatif atau swadaya para warga sendiri an (2) kerjasama untuk proyek-proyek yang dipaksakan dari atas. Kita bisa membayangkan bagaimana proyek-proyek macam pertama, yang asal keputusan-keputusan rapat-rapat desa masyarakat sendiri dan yang disarankan benar-benar sebagai suatu proyek yang beguna, dikerjakan bersama dengan amat rela dan penuh semangat, sedangkan sebaliknya proyek-proyek macam kedua, yang sering sekali tidak dipahami atau diketahui kegunaannya, oleh masyarakat dirasakan saja sebagai kewajiban-kewajiban rutin yang amat tidak dapat dihindari, kecuali dengan cara mewakilkan giliran mereka kepada orang lain.

Di dalam mengajukan proyek-proyek yang membutuhkan tenaga bersama dari sebagian besar warga, pihak atasan atau siapa saja yang mengajukan proyek itu bagi umum harus bisa meyakinkan warga akan kegunaan dari proyek itu bagi masyarakat sedemikian rupa sehingga warga akan merasakan proyek itu seolah-olah sebagai proyeknya sendiri, dan sehingga perasaan paksaan itu menghilang. Dengan demikian masyarakat akan bekerja serba rela dan bersemangat.

3.      Berjiwa gotong royong

Dasar-dasar dari aktifitas tolong menolong dan gotong royong sebagi suatu gejala sosial dalam masyarakat desa pertanian, telah beberapa kali dianalisis oleh ahli-ahli ilmu sosial. Sistem tolong menlong itu rupanya suatu teknik pengerahan tenaga yang mengenai pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian atau spesialisasi khusus, atau mengenai pekerjaan yang tidak menbutuhkan diferensiasi tenaga dimana semua orang dapat mengerjakan semua tahap dalam penyelesaiannya. Kecuali itu sistem tolong menolong itu rupa-rupanya mungkin dengan dengan dasar hubungan intensif, antara orang-orang yang hidupberhadapan muka yang saling kenal mengenal sebagai manusia kongkrit dan tidak sebagai suatu nomor yang abstrak saja, artinya antara orang-orang yang hidup dalam masyarakat kecilyang berdasarkan prinsip-prinsip kelompok primer. Dipandang dari sudut itu, maka tolong menolong itu dapat kita harapkan akan merupakan gejala sosial yang universal; artinya ada dalam semua masyarakat di mana ada kelompok-kelompok primer di dalamnya.

Kelompok-elompok primer itu terutama ada dalam masyarakat pedesaan, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Asia Tenggara, di Asia umumnya, di Afrika, di Oceania, di Amerika Latin, bhkan di Eropa dan Amerika Utara juga. Hanya di dalam masyarakat kota yang kompleks, di mana arti dalam kelompok-kelompok primer itu sudah terdesak ke hanya beberapa lapangan kehidupan yang khusus saja, sistem tolong menolong itu boleh dikatakan terdesak juga. Dalam perusahaan-perusahaan yang modern, dengan suatu diferensiasi dan spesialisasi yang kompleks, dengan suatu organisasi yang komplek, dengan suatu organsasi yang luas, sistem tolong menolong rupa-rupanya tidak juga akan memberi hasil yang efektif. Demikian sistem pengarahan tenaga secara tolong menolong, terkait kepada struktur kelompok-kelompok primer dalam masyarakat. Jiwa tolong menolong, gotong-royong dan jiwa berbakti merupakan ciri watak atau kepribadian masyarakat tradisional.

4.      Musyawarah dan Berjiwa Musyawarah

Musyawarah adalah satu gejala sosial yang ada dalam banyak masyarakat tradisional atau pedesaan umumnya. Artinya ialah keputusan-keputusan yang diambil dalam rapat-rapat tidak berdasarkan satu mayoritas, yang menganut suatu pendirian tertentu, melainkan seluruh rapat seolah-oleh suatu badan. Hal ini berarti bahwa pihak mayoritas dan pihak minoritas mengurangi pendirian mereka, sehingga bisa mendekati dan aling toleransi.

Sebagai suatu cara berapat yabg tertentu, musyawarah itu rupa-rupanya harus ada kekuatan atau tokoh-tokoh yang dapat mendorong proses menyetarakan dan mengintegrasikan pendapat itu. Jiwa-jiwa musyawarah seperti itulah yang harus dimiliki setiap orang dalam memecahkan masalah. Jiwa musyawarah merupakan suatu ekstensi dari jiwa gotong royong. Tidak hanya dalam rapat-rapat saja, tetapi terutama dalam seluruh kehidupan sosial, warga dari suatu masyarakat yang berjiwa gotong royong itu diharapkan sudi dalam melepaskan sebagian pendapatnya atau sedikit mendekati atau mencakup keseluruhan pendapat seluruh audien supaya tidak saling ngotot, menjatuhkan dan membenarkan pendiriannya sendiri. Dilihat dari ciri kehidupan masyarakat tradisional diatas dapat dilihat bahwa masyaraka tradisional memiliki ciri-ciri sebagai berikut ini :                                                                                                                             

1.  Afektifitas  yaitu hubungan antar anggota masyarakat didasarkan pada kasih saying.
2.  Orientasi kolektif yaitu lebih mengutamakan kepentingan kelompok/kebersamaan.
3.  Partikularisme yaitu segala sesuatu yang ada hubungannya dengan apa yang khusus berlaku untuk suatu daerah tertentu saja, ada hubungannya dengan perasaan subyektif dan rasa kebersamaan.

4.    Askripsi yaitu segala sesuatu yang dimiliki diperoleh dari pewarisan generasi sebelumnya.
5.    Diffuseness ( kekaburan ) yaitu dalam mengungkapkan sesuatu dengan tidak berterus-terang.
a.      Masyarakat modern
Masyarakat modern yaitu masyarakat yang kehidupannya di kota, dan kebanyakan masyarakat ini tinggal di tempat yang ramai tidak seperti masyarakat tradisional yang kehidupannya di pedalaman. Kata Modern berasal dari bahasa latin “ Modo” = cara dan “ Ernus” = masa kini. Masyarakat modern identik dengan punya banyaknya pengetahuan dan identik dengan alat elektronik yang maju dan mudahnya dalam mengikuti perubahan yang ada pada jaman sekarang ini.
A.    Proses-Proses Sosial
Dalam bermasyarakat kita tidak akan luput dari proses sosial yang menghububgakan satu orang dengan orang yang lain. Sebelum hubungan tersebut mempunyai bentuk yang konkrit, maka terlebih dahulu dialami adalah proses ke arah konkrit yang sesuai nilai-nilai sosial di dalam masyarakat. Dengan demikinan dapatlah dikatakan bahwa proses-proses sosial adalah cara burhubungan yang dapat dilhat apabila orang-perorang dan kelompok-kelompok manusia saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tesebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya cara-cara hidup yang telah ada. Ataupun dengan perkataan lain, proses-proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama. Setiap masyarakat atau kelompok-kelompok tertentu pasti tidak luput dari proses-proses sosial, karena dengan proses-proses sosial, masyarakat dapat melakukan interaksi antara individu-individu, individu-kelompok, dan kelompok-kelompok. Cakupan proses-proses sosial dalam masyarakat salah satunya yaitu interaksi sosial (yang bisa disebut juga dengan proses sosial), oleh karena itu interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial.
Bentuk lain proses-proses sosial hanya merupakan bentuk khusus dari interaksi sosial. Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut antara hubungan orang perorang, antara kelompok-kelompok manusia, ataupun antara orang perorangan dengan kelompok. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai, pada saat itu mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan mungkin berkelahi. Aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk dari interaksi sosial. Walaupun orang-orang yang bertemu muka tersebut tidak saling berbicara atau tidak saling menukar tanda-tanda, interaksi sosial telah terjadi, oleh karena masing-masing sadar akan adanya pihak lain yang menyebabkan perubahan-perubahan dalm perasaan maupun dalam syaraf orang-orang yang bersangkutan yang disebabkan oleh bau keringat , minyak wangi dan sebagainya. Kesemua itu menimbulkan kesan dalam benak fikiran seseorang, yang kemudian menentukan tindakan yang akan dilakukannya.
Interaksi sosial seperti diatas tidak akan mungkin terjadi apabila manusia mengadakan hubungan yang langsung dengan sesuatu yang sama sekali tidak berpengaruh terhadap sistem syarafnya, sebagai akibat hubungan termaksud. Berlangsungnya suatu proses interaksi sosial didasarkan oleh berbagai faktor, antara lain: faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati. Faktor-faktor tesebut dapat bergerak sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan yang bergabung. Hal-hal tersebut diatas merupakan faktor minimal yang menjadi dasar bagi berlangsungnya proses interaksi sosial.
B.     Pelapisan-Pelapisan Sosial
Selama dalam sebuah masyarakat pasti ada sesuatu yang dihargai, dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesutau yang dihargainya, maka hal itu akan menjadi suatu yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat. Sistem berlapis-lapis dalam masyarakat tersebut dalam sosiologi dikenal dengan istilah Social Stratification. Pitirim A. Sorokin menyatakan bahwa social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkhis). Adanya sistem berlapis-lapis di dalam masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu, tetapi ada pula yan dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Yang  biasanya menjadi alasan terjadinya lapisan-lapisan masyarakat dengan sendirinya adalah kepandaian, umur, sifat keaslian keanggotaan kerabat seorang kepala masyarakat, dan mungkin harta dalam batas-batas tertentu. Dalam stratifikasi sosial terdapat sifat-sifat yang secara visual dapat dilihat seperti berikut ini :
1.      Tertutup, dimana mobilitas sangat terbatas, atau bahkan mungkin tidak ada.
2.    Terbuka, dimana kemungkinan mengadakan mobilitas sangat besar.
3.    Campuran (tertutup dan terbuka).



Kita dapat mengetahui bahwa dalam masyarakat terdapat gerak atau yang bisa kita sebut dengan mobilitas sosial, sesuai dengan arahnya mobilitas sosial itu dibedakan menjadi dua macam yaitu social-climbing (yang naik) dan social-sinking (yang turun). Gerak sosial yang naik mempunyai dua bentuk utama yaitu:
a.    Masuknya individu-individu yang mempunyai rendah ke dalam kedudukan yang lebih tinggi.
b.      Pembentukan suatu kelompok baru, yang kemudian ditempatkan pada derajat yang lebih tinggi dari kedudukan individu-individu pembentuk kelompok tersebut.
Demikian gerak sosial vertikal yang menurun mempunyai dua bentuk utama yaitu:
a.       Turunnya kedudukan individu ke kedudukan yang lebih rendah derajatnya, dan
b.      Turunnya derajat sekelompok individu-individu yang dapat berupa suatu disintegrai dalam kelompok sebagai kesatuan.
Kedua bentuk tersebut di atas dapat diartikan atau diibaratkan sebagai seorang penumpang kapal laut yang jatuh ke laut dan seterusnya sebagai kapal yang tenggelam bersama seluruh penumpangnya atau apabila kapal itu pecah.
Rujukan :
Norman Long.  1992. Sosiologi Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Pt Bumi Aksara.
Soerjono Soekanto.  1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV Rajawali.
Sajogyo. Pujiwati Sajogyo. 1995. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.














Analisis:
Mayarakat tradisional dan masyarakat modern sangat berbeda sekali dalam hal apapun. Perbedaan itu sangat mencolok sekali, dalam hal perubahan sosialnya masyarakat tradisional sangat tertutup dan bahkan tidak mau menerima perubahan-perubahan yang timbul dari luar, sedangkan masyarakat modern sangat mudah sekali dalam berubah. Ini semua dikarenakan masyarakat tradisional memegang adat atau keyakinan nenek moyangnya, di mana keyakinan-keyakinan tersebut sangat dipatuhi dan dijunjung tinggi oleh masyarakat tradisional, karena mereka yakin juga bila melupakan atau malah meniggalkannya akan ada sesuatu yang akan menimpa masyarakat tersebut. Keyakinan-keyakinan inilah yang menjadi salah satu faktor dominan yang  penghambat perubahan. Dalam hal pekerjaanpun berbeda, masyarakat tradisional mereka becocok tanam atau bisa dikatakan bertani, sedangkan masyarakat modern dikantoran. Masyarakat tradisional pada umumnya menjunjung tinggi rasa kepercayaan, saling gotong royong atas sesama masyarakat, yang dapat kita lihat misalnya dalam membuat rumah, mereka saling membantu untuk membangun rumah yang akan dihuni anggota masyarakat tersebut. Hal tersebut sangat berbeda dengan masyarakat modern yang juga bisa disebut juga sebagai masyarakat kota yang pada umumnya mereka sangat individualistis terhadap satu sama lain. Hal tersebut dikarenakan masyarakat modern sudah terbagi dalam berbagai permasalahan yang kompleks, misalnya saja dalam hal pekerjaan, yang mana sudah ada pembagian kerja, begitupun dengan masalah sosialnya yang sudah acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar. Hal tersebut dapat kita lihat sebagaimana kesenjangan sosial yang masih banyak kita jumpai di negara pertiwi ini. Contoh lain yang masih hangat adalah masalah indonesia timur yaitu papua, di sana masyarakat sangat memprihatinkan oleh masalah-masalah dunia pendidikan, kesehatan maupun ekonomi. Hal tersebut sangat berbeda sekali dengan yang ada di indonesia barat yang mana sebagian besar pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.