Aqidah Islam dan Ritual Budaya dalam Umat Islam Jawa
Mengenai Saya
Rabu, 07 November 2012
Senin, 05 November 2012
Wilayah Kajian Ilmu Dakwah
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Aktivitas dakwah sudah ada sejak adanya
tugas dan fungsi yang harus diemban oleh manusia, yakni untuk penyelamatan alam
semesta dan untuk keselamatan manusia itu sendiri. Namun aktivitas dakwah
seringkali dipahami oleh masyarakat awam sebagai aktivitas praktis, yakni
penyampaian ajaran Islam secara lisan tabligh.
Dakwah sebagai sebuah disiplin ilmu
terdapat banyak aspek yang perlu dikembangkan, seperti masalah kejelasan
tentang pengertian ilmu dakwah dan wilayah kajian ilmu dakwah. Hal ini amat penting
dikaji,mengingat ilmu dakwah belum terakumulasi epistemologinya secara jelas.
Dalam sebuah kerangka bangunan keilmuwan yang utuh. Untuk itu, diperlukan
kajian yang mendalam mengenai wilayah kajian ilmu dakwah. Aspek wilayah kajian
ilmu dakwah terdiri dari nilai normatif dan empiris. Nilai normatif wilayah
kajian ilmu dakwah yaitu wilayah dakwah dalam al-quran , hadist dan sejarah
nabi. Sedangkan nilai empirisnya wilayah dakwah dalam kenyataan masyarakat.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah ini akan membahas
beberapa hal sebagai berikut :
1.
Apakah pengertian dawah dan ilmu dakwah?
2.
Apasajakah
wilayah kajian ilmu dakwah?
3.
Membedakan
wilayah kajian dakwah dalam masing-masing jurusan pada fakultas dakwah.
C. TUJUAN
PENULISAN
1.
Dapat memahami
pengertian dakwah dan ilmu dakwah.
2.
Dapat memahami
wilayah kajian ilmu dakwah.
3.
Dapat
membedakan wilayah kajian dakwah dalam masing-masing jurusan pada fakultas
dakwah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Dakwah dan Ilmu Dakwah
a.
Definisi da’wah secara umum.
Definisi da’wah secara umum ialah
mengajak manusia dengan cara yang bijaksana kepada jalan yang benar sesuai
dengan perintah Allah, untuk kemashlahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan
juga di akhirat.
b.
Definisi ilmu da’wah menurut Islam.
Definisi ilmu da’wah secara umum
adalah suatu ilmu pengetahuan yang berisi cara-cara dan tuntunan, bagaimana
seharusnya menarik perhatian manusia supaya menganut, menyetujui, dan
melaksanakan sesuatu idiologi, pendapat-pendapat, pekerjaan-pekerjaan tertentu dan lain-lain.
c.
Definisi dakwah lainya.
Menurut
Profesor A. Hasyim, dalam bukunya Dustur Dakwah dalam Al- Qur’an pada halaman
28 menyatakan sebagai berikut:
“Dakwah
islamiyah yaitu mengajak orang untuk meyakini dan mengamalkan aqidah dan
syariah Islam yang terlebih dahulu telah diyakini dan diamalkan oleh pendakwah
sendiri”.
Menurut
Ustadz Abu Bakar Zakaria dalam kitabnya “ Ad Dakwah Ilall Islam”, mengemukakan
rumusan dakwah dengan rumusan sebagai berikut:
“Usaha
para Ulama’ dan orang-orang yang memiliki pengertian tentang Agama Islam untuk
memberikan pengajaran kepada khalayak umum hal-hal yang menimbulkan pengertian
mereka berkenaan dengan urusan agama dan keduniaanya menurut kemampuan”.
Dari uraian yang penulis kemukakan
diatas, maka dakwah tidak sama artinya dengan penerangan, penyiaran,
pendidikan, pengajaran, dan tidak sama pula dengan indoktrinasai dan
propaganda.[1]
Meskipun definisi dakwah itu
berbeda-beda dalam perumusan, tetapi apabila
dibandingkan satu sama lain, dapatlah diambil kesimpulan sebagai
berikut:
a.
Dakwah itu adalah merupakan proses penyelenggaraan suatu usaha atau
aktifitas yang dilakukan dengan sadar dan dengan sengaja.
b.
Usaha yang diselenggarakan itu adalah berupa:
-Mengajak orang
untuk beriman dan mentaati Allah SWT. atau memeluk agama islam.
-Amar ma’ruf
perbaikan dan pembangunan masyarakat (Ishlah).
-Nahi Munkar.
c.
Proses penyelenggaraan usaha tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan
tertentu, yaitu kebahagian dan kesejahteraan hidup yang diridhoi oleh Allah
SWT.[2]
B.
Wilayah Kajian Ilmu Dakwah
Wilayah kajian dakwah disini terbagi
menjadi dua aspek yaitu: secara normatif dan secara empiris.
1.
Normatif
Wilayah kajian ilmu dakwah secara
normatif pada intinya berusaha menemukan prinsip dakwah dari sumber normatif
yaitu: Al- Qur’an, Hadits, Maupun sejarah Rasulullah.
a.
Al- Qur’an
Dalam Al-Qur’an banyak sekali
diungkapkan kisah yang penuh “ibrah”. Setelah menceritakan kisah nabi yusuf,
Allah SWT. Berfirman:
“Sesungguhnya
pada kisah-kisah itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.
Al-Quran bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan
(kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS.Yusuf[12]: 111).
Sejarah dalam Al- Qur’an adalah
sejarah yang mengungkap tentang siklus kehidupan dan sunnatullah yang tidak
pernah berubah. Al- Qur’an selalu mengungkap pertarungan antara yang hak dan
yang batil, yang pada akhirnya kemenangan akan selalu berada pada pihak yang membela
kebenaran. Al-Qur’an juga merubah persepsi manusia tentang kemenangan yang
lebih diartikan dengan kesuksesan meraih sesuatu yang dicita-citakan di dunia.
Kemenangan menurut Al- Qur’an adalah kekuatan memperetahankan keistikomahan dan
ketegaran prinsip tauhid sampai ajal menjemput. Dalam Al- Qur’an banyak
bercerita kepada kita tentang tingkah polah umat manusia terdahulu yang
akhirnya mendapat azab dari Allah, dan dan bagaimana kiat-kiat para mushlihun
(reformis) pada zamanya untuk menyelamatkan masyarakat dari azab Allah.
Kadang-kadang Allah mengungkapkan
cerita tersebut dengan redaksi singkat, dalam waktu yang lain diungkap dengan
redaksi sedang dan kadang-kadang dengan redaksi yang panjang. Tujuannya adalah
agar sunnatullah tersebut (kemenangan pasti ditangan pejuang kebenaran)
tertanam kokoh di dalam diri dan terhujam di dalam hati, sehingga keputusan
tidak mendapatkan celah untuk menyelinap masuk ke hati para da’i reformis. Al-
Qur’an sering menghibur Nabi Muhammad SAW. Dengan sejarah Nabi sebelum beliau.
Al- Qur’an sering memerintah beliau
untuk bersabar dan bertameng ridho, karena kunci sukses orang-orang hebat di
mata Allah adalah kesabaran mereka menghadapi tantangan dalam perjuangan. Allah
berfirman:
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan
hati dari Rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta di segerakan
(azab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka
(merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari.
(Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang
fasik.” (QS. Al- Ahqaf : 35).
Jika Allah telah mendidik Nabi
Muhammad dengan sejarah Nabi sebelumnya, maka penerus dakwah hari ini
seharusnya lebih bersemangat untuk mengambil inspirasi dari dakwah mereka,
apalagi zaman kita yang telah penuh dengan kemungkaran, bid’ah, kerusakan
aqidah, dan berbagai penyakit lainnya[3].
b.
Hadits
Umat Islam diharuskan untuk berdakwah dalam selalu mengajak kepada
kebaikan dan saling mengingatkan apabila ada kemunkaran. Sebagian ada yang
mengartikan sebagai keharusan setiap individu dan sebagian mengartikan sebagai
keharusan secara kolektif, tetapi secara garis besarnya berdakwah adalah
keharusan bagi umat Islam yang tercantum di dalam Alquran maupun Hadis Nabi
SAW.
Sehingga dalam proses serta pelaksanaannya, umat Islam perlu untuk
mengetahui dan memahami makna, unsur, metode, dan semua hal yang terkait dengan
faktor pendukung keberhasilan dakwah. Berkaitan dengan hal tersebut, pemahaman
terhadap metode dakwah sebagai salah satu faktor pendukung dalam keberhasilan
dakwah menjadi sesuatu yang urgen.
Istilah metode dakwah seperti yang tertera di dalam Alquran pada
prinsipnya merujuk kepada surah an-Nahl ayat 125 yang menyebutkan bahwa metode pelaksanaan
dakwah ada 3 yaitu dakwah dengan kebijaksanaan, dakwah dengan memberikan
pelajaran yang baik, dan dakwah dengan membantah atau berdebat dengan cara yang
baik.
Pemahaman terhadap metode dakwah yang telah disebutkan di dalam Alquran
tersebut dapat diaplikasikan dengan menggunakan metode yang diajarkan oleh
Rasulullah selaku pelopor dakwah islamiyah, seperti yang tertera di
dalam redaksi Hadis riwayat imam Bukhari dan imam Muslim sebagai berikut:
“Barang siapa di antara kalian melihat kemunkaran, maka cegahlah dengan
tangannya (kekuasaan), apabila tidak mampu maka dengan lidahnya, apabila tidak
mampu maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.”
Berdasarkan Hadis tersebut dapat dipahami bahwa metode dakwah yang
disebutkan di dalam Alquran mempunyai integritas dengan metode dakwah yang
tertera di dalam Hadis, maksudnya adalah bahwa pelaksanaan metode dakwah yang
ada di dalam Alquran dengan menggunakan metode dari Hadis seperti yang
disebutkan di atas.
Sehingga dapat dipahami bahwa Hadis merupakan salah satu landasan metode
dalam melaksanakan dakwah, selain didasarkan kepada metode dakwah yang
dilaksanakan Rasulullah dalam menyebarkan agama Islam. Konsep seperti ini
merupakan modal utama bagi para da’i (pelaksana dakwah), sehingga
pemahaman terhadap metode dakwah yang terdapat di dalam Hadis sangat diperlukan
untuk pencapaian hasil yang lebih optimal dengan persentase keberhasilan dakwah
mencapai taraf yang signifikan.
Ahmad Janawi di dalam tulisannya yang dimuat di dalam jurnal dakwah
Alhadharah, menyebutkan bahwa sukses atau tidaknya suatu dakwah tidak diukur
dari banyaknya jemaah (mad’u), atau ekspresi yang ditampilkan oleh
jemaah tersebut seperti tangis, gelak-tawa, dan sebagainya, karena hal tersebut
merupakan indikator, dan disebutkan bahwa nilai sukses suatu dakwah diukur
melalui bekas (atsar) yang ditinggalkan di dalam benak mad’u,
dalam artian memberikan kesan dan dengan harapan dari kesan tersebut memberikan
stimulan kepada mad’u untuk dapat mengaplikasikan di dalam kehidupan
(2003: 21).[4]
c.
Sejarah Rasulullah
Perjalanan
dakwah dirintis dan dikembangkan oleh Nabi Muhammad sejak dia pertama kali
menerima wahyu (QS Al-Muddatsir) sebagai rosul terakhir. Rasulullah tampil
sebagai da’i pertama di tengah-tengah masyarakat Arab Jahiliyyah dengan membawa
ajaran Islam yang dianggap asing oleh masyarakat Makkah karena berlawanan
dengan keyakinan yang diwariskan nenek moyang mereka sejak bertahun- tahun
lamanya,turun-temurun.
Sebagaimana
kita ketahui bersama bahwa dakwah Rasulullah berlangsung kurang lebih 23 tahun,
dibagi menjadi dua periode, yakni Era Makkah dan Era Madinah[5].
Dakwah Rasuluullah dimulai sejak wahyu pertama turun (Surat Al-alaq 1-5) yang
dikenal dengan nama “Nuzulul Qur’an”, tanggal 17 Ramadhan 13 tahun sebelum
hijriah (610 M) sampai hijrah beliau ke Madinah,bulan Rabi’ul Awal,awal tahun 1
Hijriah.
Era
Makkah lebih lama dibandingkan dengan Era Madinah, walaupun pengikut yang
diperoleh lebih sedikit, hal ini karena pada Era Makkah dakwah islam dalam
tahap perintisan (belum banyak pendukung). Disamping banyak tantangan dan
hambatan dari Kaum Kurasy, sehingga untuk menyebarkan ajaran islam secara
leluasa tidak memungkinkan[6].
Disini Rasulullah menyebarkan dakwahnya secara rahasia dan terang-terangan.
1.
Dakwah secara rahasia
Setelah
Nabi Muhammad bertahun-tahun bertahanuts di Gua Hiro, akhirnya beliau
memperoleh apa yang dicari, yakni kebenaran sejati dari Allah, wahyu yang
mengandung nilai kebenara universal. Kejadian itu beliau ceritakan kepada Siti
Khadijah istri tercintanya.[7]
Setelah wahyu pertama turun, kemudian
diikuti wahyu kedua (surat Al-Qalam), wahyu yang ketiga (surat Al-Muzamil),dan
yang keempat (surat Al-Mudatsir). Wahyu yang keempat ini berisikan pokok
pembentukan pribadi Muslim yang bertauhid dan perintah mendakwahkan ajaran itu
kepada kaumnya, mengajak mereka agar mereka beribadah menyembah kepada Allah.
Pada periode ini, Nabi mendakwahkan
ajarannya pada lingkungan rumah tangga beliau.Setelah istrinya masuk Islam
kemudian diikuti pula Ali bin Abi Thalib putra pamannya serta Zaid bin Harits,
bekas budak beliau. Mereka berdua menerima dakwah dengan sepenuh
hati.Rasulullah melangkah setapak demi setapak dari rumah tangga beliau
kemudian beranjak menuju teman-teman karibnya yang setia.Akhirnyapun Abu Bakar
mengikuti ajakan Nabi untuk mengikuti agama islam yang dirindukan selama
hidupnya.[8]
Dakwah dengan cara seperti ini telah
berhasil mengislamkan 30 orang lebih (dari berbagai kalangan). Kemudian
kegiatan dipusatkan di rumah Arqam bin Abil Arqam, sebagai tempat pertemuan,
pembinaan, dan pengajaran. Dengan cara seperti ini, akhirnya berhasil
mengislamkan 40 orang laki-laki dan wanita (M.Said Ramadhan; 105), yang terdiri
dari orang-orang tingkat menengah ke bawah.[9]
Dakwah Rasul yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi ini secara mengagumkan telah membawa hasil yang berarti
walaupun secara kuantitas belum membawa hasil yang baik tapi secara kualitas
telah dapat mengislamkan tokoh-tokoh terpandang.[10]
2.
Dakwah secara terang-terangan
Setelah Nabi berdakwah secara rahasia
selama tiga tahun (diawali dari rumah tangganya sendiri kemudian diteruskan
kepadateman karibnya) dalam situasi yang penuh tantangan, beliau melangkah
lebih maju dengan datangnya wahyu Al- Qur’an surat Al-Hijr: ayat 94,
“Siarkanlah apa-apa yang diperintahkan kepadamu dan janganlah pedulikan orang
musyrik!”. Pada waktu itu Rasulullah segera melaksanakan perintah Allah,
kemudian menyambut firman Allah surat Al- Hijr : ayat 94 seraya pergi ke bukit
Shafa untuk memanggil nama-nama orang besar suku Arab. Maka Nabi berkata:
“Bagaimana pendapat kalian jika aku kabarkan bahwa di belakang gunung ini ada
sepasukan musuh berkuda dan akan menyerang kalian, apakah kalian
mempercayaiku?” Jawab mereka: “Ya, kami percaya, kami tidak pernah melihat kamu
berdusta!”. Selanjutnya, kata Nabi: “Ketahuilah, aku adalah seorang pemberi
peringatan kepada kalian dari siksa neraka yang pedih!”. Dengan tindakannya
Nabi mendapat tamparan yang pertama dari Abu Lahab, dengan mengatakan:
“Sesungguhnya celakalah kamu sepanjang hari ini hanya untuk ini kau kumpulkan
kami?” (Husain Hikal: 104). Mendengarkan hal itu Nabi tertegun sejenak kemudian
turun wahyu surat Al-Lahab, sebagai jawabanya.[11]
Kemudian, Rasulullah turun dan
melaksanakan firman Allah surat Asy- Syura: 214-215, agar beliau berdakwah
kepada keluarga dekatnya. Maka, Muhammad pun mengundang makan keluarga-keluarga
itu ke rumahnya, dicobanya bicara dengan mereka dan mengajak mereka untuk
menyembah kepada Allah, tetapi Abi Thalib pamanya, menyetop pembicaraan itu, ia
mengajak orang-orang pergi meninggalkan tempat tersebut.[12]
Walaupun keluarganya banyak yang menentang bahkan mengancam keselamatan beliau,
hal ini justru menjadi pendorong gerak Rasulullah lebih maju lagi.[13]
Pada periode ini, Islam telah diperkuat
dengan masuk islamnya dua tokoh Kuraisy, yakni Hamzah (paman Nabi) dan Umar bin
Khatab, keduanya pahlawan Kuraisy yang gagah berani, sebelumnya Umar penentang
utama dakwah Nabi. Dengan Islamnya dua tokoh ini kaum muslimun berani melakukan
shalat atau ibadah terang-terangan di pinggir Ka’bah.[14]
Disamping itu, dari peristiwa ini
menggambarkan bahwa dalam kesulitan yang berat Allah selalu memberikan
pertolongan kepada hamba dan Nabi-Nya. Dan juga merupakan landasan bagi
hijrahnya Rasul ke Madinah serta adanya gambaran akan terbentuknya lembaran
baru dakwah Islam melalui usaha jihad.[15]
Keberhasilan dakwah Rasulullah tidak dengan
mudah, namun ditempuh dengan menghadapi seribu satu macam ancaman, hambatan,
dan siksaan lahir dan batin. Untuk menghadapi itu semua ditompang dengan
kekuatan dan sifat batin yang kuat yakni iman yang terpancar dari dalam jiwanya
yang melahirkan sifat perilaku dan tutur kata yang penuh hikamah yang telah
melekat pada dirinya. Sehingga dalam menghadapi berbagai macam tantangan,
cobaan, dan siksaan selalu tabah, sabar, dan penuh dengan sikap optimis.[16]
2.
Empiris
Pada
hakikatnya, manusia diciptakan dalam kondisi yang cenderung pada agama Allah.
Dan sejak dalam kandungan manusia sejati telah “ teken kontarak perjanjian”
(melakukan persaksian) bahwa Allah adalah Tuhannya. Allah sendiri telah
melengkapi manusia dengan dua fungsi yaitu sebagai khalifah dan hamba atau
pengadilan.
Manusia
selalu dihadapkan dengan berbagai macam tantangan, godaan, dan rintangan, yang
menggoda fitrahnya, baik yang dibisikan hawa nafsunya sendiri ataupun oleh
syaitan. Dalam posisi seperti itu manusia harus antara baik atau buruk. Oleh
sebab itu, Allah memberikan jembatan dakwah kepada manusia agar ia tetap
berjalan secara konsisten dan eksis dalam fitrahnya, yakni selalu berada
memilih dalam jalan Tuhannya (QS. An-Nahl : 125)
ﺃﺪﻉ ﺇﻠﻰ ﺴﺑﻴﻝ
ﺭﺑﻚ ﺑﺎﻠﺤﻜﻤﺔ ﻮﺍﻠﻤﻮﻋﻈﺔ ﺍﻠﺤﺴﻨﺔ ﻮﺠﺍﺪﻠﻬﻤ ﺑﺎﻠﺗﻲ ﻫﻲ ﺃﺤﺴﻦ ﺇﻦ ﺮﺑﻚ ﻫﻮ ﺃﻋﻠﻡ ﺑﻤﻦ ﺿﻞ ﻋﻦ
ﺴﺑﻴﻠﻪ ﻮﻫﻮ ﺃﻋﻠﻡ ﺑﺎﻠﻤﻬﺘﺪﻴﻦ {125}
Dalam
ayat diatas, sejauh terkait dengan manusia sebagai sasaran dan pelaku dakwah,
ada tiga hal yang perlu digaris bawahi, yakni: (1) Mengajak (merayu) manusia
kembali ke Jalan Tuhan. (2) Manusia yang sesat dari jalan-Nya. (3) Manusia yang
dapat petunjuk.
Fungsi
dakwah pada ayat di atas adalah mengajak manusia yang sesat dan menyimpang dari
ajaran Tuhan (syari’at agama) atau orang yang keluar dari fitrah kejadiannya,
supaya kembali keposisi semula dengan menjaga yang sudah eksis pada fitrahnya
agar tidak tercemar. Kemudian dalam ayat tersebut, Allah telah memastikan bahwa
ia lebih mengetahui orang-orang yang sesat dan yang mendapat petunjuk. Di sini
dakwah tetap menjadi suatu keharusan karena dalam hal ini urusan petunjuk atau
sesat adalah hak mutlak Allah, dakwah dan dai atau manusia adalah ikhtiar
semata.
Inti
pandangan dakwah terhadap manusia terletak pada sifat dasar manusi yang baik (fitrah Allah). Maka, dalam hal ini,
dakwah memandang manusia dengan prasangka baik (husnuzhan). Dalam ayat di atas tercermin statemen hikmah, yang
menurut Mach Foedl memiliki makna adil dan persangkaan baik (Mach foedl
1975:41). Maka, jika seseorang telah berbuat salah atau sesat dari jalan Allah,
dakwah akan mengatakan bahwa Allah adalah Maha Pengampun, tidak ada alasan bagi
dakwah untuk berputus asa dalam usaha mengajak manusia kembali ke jalan Allah.[17]
Posisi dakwah dalam hal ini adalah upaya atau proses mengajak dan menyeru umat
manusia agar kembali atau tetap berada serta meningkatkan dirinya dalam
fitrahnya dan pada jalan Allah, yakni dalam ketuhanan, social, dan etika sesuai
ajaran Islam seperti fitrah yang dimilikinya sejak “teken kontara illahi”
sejalan dengan dasar penciptaannya, sehingga dalam kehidupan ini terwujud umat
manusia yang baik (khairul bariyah)
yang berkumpul menjadi masyarakat yang khairul
ummah.
C. Wilayah Kajian Ilmu Dakwah Pada Jurusan Dalam Fakultas Dakwah UIN
SUKA
Menurut Syukriyadi Sambas ilmu dakwah terdiri atas empat disiplin ilmu
yakni:
1.
Ilmu Tabligh untuk KPI
Antara lain
yang dipelajari adalah sebagai berikut:
a.
Studi Khitobah/ Pidato.
b.
Studi Pers Dakwah.
c.
Studi Radio.
d.
Studi Televisi.
e.
Studi Perfilman.
2.
Ilmu Tahtwir untuk PMI / IKS
Antara lain
yang dipelajari adalah sebagai berikut:
a.
Studi Pengembangan Komunitas Muslim.
b.
Pengemangan Ekonomi Umat
c.
Pengembangan Sumberdaya Lingkungan.
3.
Ilmu Tadbir untuk MD
Antara lain
yang dipelajari adalah sebagai berikut:
a.
Studi Managemen dan Organisasi Dakwah.
b.
Studi Managemen Bank dan Ekonomi Islam.
4.
Ilmu Irsyad untuk BKI
Antara lain
yang dipelajari adalah sebagai berikut:
a.
Studi Bimbingan.
b.
Studi Penyuluhan / Konseling.
c.
Studi Psikoterapi.
Yang ini semua ditunjangkan kepada
mahasiswa dalam pengembangan dakwahnya dalam masyarakat dewasa ini, agar dakwah
tetap eksis dalam kancah modern ini dan ada penerusnya dari awal Nabi Adam As.
sampai sekarang ini.
PENUTUP
KESIMPULAN
Kesimpulan yang kami dapat ambil
dari makalah ini adalah bahwa dakwah merupakan suatu tindakan mengajak
manusia dengan cara yang bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan
perintah Allah, untuk kemashlahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan juga di
akhirat. Dan ilmu dakwah merupakan suatu ilmu pengetahuan yang berisi cara-cara
dan tuntunan, bagaimana seharusyna menarik perhatian manusia supaya menganut,
menyetujui, dan melaksanakan sesuatu idiologi, pendapat-pendapat, pekerjaan-pekerjaan
tertentu dan lain-lain. Dan dalam penyampaian dakwah itupun ada batasan atau kajian
wilayah tertentu yaitu secara normatif yang meliputi Al- Qur’an, Hadits, dan,
Sejarah Nabi. Dan juga secara empiris yaitu dngan melihat keadaan atau kenyataan
dalam masyarakat setempat.
[1] Ilaihi. Wahyu, dan Hefni. Harjani, Pengantar
Sejarah Dakwah (Jakarta: Kencana, 2007) hlm. 5-6
[2] Ibid., hlm.6
[3] Ilaihi. Wahyu,dan Hefni. Harjani, Pengantar
Sejarah Dakwah (Jakarta: Kencan,2007) hlm. 6
[4] www.google.com
[5] Suisyanto, Pengantar Filsafat Dakwah (Yogyakarta: Teras,
2006) hlm. 122
[6] Ibid., hlm. 121-122
[7] Ibid., hlm. 122
[8] Suisyanto, Pengantar Filsafat Dakwah (Yogyakarta: Teras,
2006) hlm. 123
[9] Ibid., hlm. 124
[10] Ibid., hlm. 124
[11] Suisyanto, Pengantar Filsafat Dakwah (Yogyakarta: Teras,
2006) hlm. 125-126
[12] Ibid., hlm. 126
[13] Suisyanto, Pengantar Filsafat
Dakwah (Yogyakarta: Teras, 2006) hlm. 127
[14] Ibid., hlm. 128
[15] Ibid., hlm. 134
[16] Ibid., hlm. 135
[17] Suisyanto, Pengantar Filsafat
Dakwah (Yogyakarta: Teras, 2006) hlm. 85-87
Langganan:
Postingan (Atom)