Aqidah Islam dan Ritual Budaya dalam Umat Islam Jawa
A.
Pemahaman
Islam
Antara Islam
ideal dan Islam historis atau realitas yang menurut istilah Amin Abdullah
(1986) Normatifas dan historitas tidak perlu di pertentangkan, tetapi perlu
dipahami sebagai kontinyuitas yang sangat diniscayakan dalam rangka pembumian
dan menerjamahkan Islam dalam konteks tertentu. Memang diakui bahwa umat
Islamdalam memandang fenomena ajaran islam (al-Qur’an dan as-Sunnah) selalu
terpolakan menjadi dua, yaitu pola pemahaman tradisional-tekstual dan
rasional-kontekstual. Pola yang pertama semata-mata hanya melihat bunyi
teksnya, sedangkan yang kedua, selain memperhatika aspek internal (teksnya),
juga menganalisis aspek eksternalnya (konteks sosiohistoris dan
sosiokulturalnya).
Dengan kedua
pola tersebut sebenarnya tidak dapat terlepas sama sekali dari teks dan rasio
sehingga dengan demikian diharapkan kedua pola pendekatan ini tidak
diperentangkan secara dikotomik, tetapi dipandang sebagai variasi dan dinamika
pemahaman islam. Bentuk pemahaman tersebut menjelma menjadi produk ijtihad
ulama terdahulu dan akhirnya menjadi suatu aliran atau madzhab, baik dalam
aspek politik, ilmu kalam, fiqih, dan tasawuf. Semua itu merupakan dimensi Islam
yang apabila dirangkum dalam sebuah pemahaman dan pengamalannya akan
menampilkan islam kaffah (Islam yang utuh), yang didalamnya tercakup pemikiran,
pemahaman, pengamalan, dan penghayatan terhadap al-Islam itu sendiri.
B.
Aktualisasi
Nilai-nilai Islam
Dalam konteks pemikiran sosiologis, Islam itu diturunkan oleh Allah
SWT. Dalam konteks zamannya, dan dalam rangka memecahkanproblematika
kemasyarakatan yang ada pada waktu itu. Sejalan dengan itu, maka harus memahami
konteks yang tepat. Teks al-Qur’an dan al-Hadits perlu dilihat dengan konteks
dan latar belakang perjuangan Nabi, bagaimana aktivitas dan perjuangannya di
tengah-tengah adat istiadat, pranata, dan pandangan hidup orang-orang pada
zaman itu, dan perlu pula dilihat bagaimana kehidupan ekonomi, hubungan
politik, khususnya karakter-karakter Quraisy.
Dalam rangka
aktualisasi Islam terdapat empat aliran di kalangan sarjana Islam dalam aspek
sosio-kultural, yakni pertama, modernis, suat pemikiran yang lebih
menekankan aspek rasional sesuai dengan kondisi modern. Kedua, pemikiran
neo-modernis, yaitu pemikiran yang meletakkan dasar moral keislaman dalam
konteks rasional. Ketiga, sosialisme demokrasi, yaitu pemikiran
yang ingin menegakkan keadilan pada masyarakat berdasarkan ajaan Islam. Keempat,
universalis, yaitu pola pemikiran yang memandang Islam sebagai
alternatif ideologis bukan sekedar ritual belaka.
Dari keempat pola pemikiran aktualisasi tersebut,
perlu dikaji kelebihan dan kekurangannya. Uneversalis, Islam dapat dijadikan
sebagai alternatif ideolgis, ini sebagai jalan keluar untuk menyelamatkan umat
manusia dan peradabanya dari kerapuhan tatanan dunia saat ini. Bagi pola ini,
Islam diharapkan sebagai faktor dominan dan komplement. Pemikiran ini
sangat idealis dan menuntut pada aspek kehidupan manusia.
Pola pemikiran
yang dapat diterapkan dan tidak menemui masalah dan benturan yang berarti ialah
neo-modernis dengan menempatkan Islam sebagai landasan spiritual, etika dan
moral pembangunan umat manusia di dunia saat ini. Islam dipandang tidak
memberikan jawaan matematis dan praktis, ia hanya berkemampuan merespon secara
moral terhadap persoalan-persoalan modern. Dan disinilah letak kelemahannya,
Islam dipandang sebagai suplement dan semata-mata legimitator
terhadap kebijakan yang ada.
C.
Islam
dan Budaya Lokal
Dalam konteks
keindonesiaan ada dua organisasi keagamaan yang pada akhirnya mencerminkan dua
aliaran pemikiran yang bersebrangan, yakni Muhammadiyah dan NU. Kedua pola
pemikiran ini tidak terlepas dari sejarah politik umat Islam Indonesia. Yang
satu mewakili muslim tradisional dan yang satu lagi mewakili muslim modernis.
Akar “ketegangan” antara kedua organisasi tersebut sudah ada dampaknya sejak
Muhammadiyah lahir tahun 1912, dan NU lahir tahun 1926.
Muhammadiyah
yang dicurigai sebagai organisasi yang membawa perubahan mendasar terhadap
ajaran Islam yang “ telah mapan”, membawa ajaran Wahabi yang purifikasionis dan
Muhammad Abduh yang rasionalis, sehingga muncul reaksi dari kelompok yang
menamakan diri “Nahdlatul Ulama” sebagai pengembang komite Hijaz.
Tradisi yang
dikembangkan oleh NU sangat relevan dengan masyarakat Indonesia, yakni petani
dan pengikut Syafi’i yang tinggal di pedesaan, yang tidak memungkinkan Islam
berkembang secara rasional dan modernis. Paham Syafi’iyah lebih menekankan pada
loyalitas kepada pemuka agama ( Ulama dan Kiai) dari pada subtansi ajaran Islam
yang bersifat rasionalistik, dan dalam taraf tertentu menimbulkan sikap taqlid
kepada ulama’ atau kiai tanpa syarat. Ajaran yang disampaikan lebih banyak
ritual, dan disesuaikan dengan masyarakat setempat. Hal ini dapat berjalan
dengan lancar, mengingat paham Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah lebih oleran
dari pada yang lain.Dengan demikian Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah ini
bukan hannya sebagai ideologi yang membedakan antara Sunni dan Non Sunni,
melainkan juga memedakan antara tradisionalis dan modernis.
Kaum modernis
yang diwakili oleh Muhammadiyah, yang bersemboyan kembali kepada al-Qur’an dan
al-Sunnah, berupaya menumbuhkan ijtihad sebagaimana yang diutarakan oleh Ibn
Taimiyah dan Muhammad Abduh, ingin mengikis habis bid’ah dan khufarat
sebagaimana yang telah dilakukan oleh kelompok tradisionalis tersebut, sebagai
budaya lokal yang berlaku di Jawa misalnya, seperti upacara untuk orang-orang
yang sudah meninggal (setelah 3, 7, 40, 100, dan 1000 hari), dan disebut
“slametan” (dari akar kata islam dan salam, yakni kedamaian atau kesejahteraan)
atau bisa disebut Tahlilan dan lain-lain.
Tradisi
ini bagi kaum tradisionalis yang diwakili oleh NU telah diislamkan, karena
dengan suasana demikian sangat efektif untuk menanamkan jiwa tauhid. Banyak
paham yang menjadikan mereka terliat “konflik”, antara lain qunut dan wirid
sesudah shalat, membaca ushalli sebelum dimulai shalat, dan paham
tasawuf dengan berbagai amalannya yang di formulasikan ke dalam tarekat. Paham
ini terlihat oleh kaum modernis sebagai sesuatu yang bid’ah, tidak perlu
diamalkan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kedua aliran ini termasu
aliran Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah, yang sekarang dengan sendirinya ajaran
fundamentalnya adalah sama, tetapi keduanya berbeda dalam cabang (khilafiyah
furu’iyyah). Masalah akidah dan ibadah tidak ada masalah, hanya beberapa cabang
(furu’) ibadah yang sedikit ada pebedaan. Muhammadiyah dianggap NU sebagai
organisasi yang merusak tatanan kehidupan (budaya) yang telah mapan tersebut,
dan sebaliknya, tidak disanksikan akan munculnya reaksi dari NU yang dianggap
tradisionalis oleh Muhammadiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar