small rss seocips Music MP3
Let's listening The Music O.K Guys!!!

Rabu, 07 November 2012

Aqidah Islam dan Ritual Budaya dalam Umat Islam Jawa





Aqidah Islam dan Ritual Budaya dalam Umat Islam Jawa

 

A.    Pemahaman Islam

 

Antara Islam ideal dan Islam historis atau realitas yang menurut istilah Amin Abdullah (1986) Normatifas dan historitas tidak perlu di pertentangkan, tetapi perlu dipahami sebagai kontinyuitas yang sangat diniscayakan dalam rangka pembumian dan menerjamahkan Islam dalam konteks tertentu. Memang diakui bahwa umat Islamdalam memandang fenomena ajaran islam (al-Qur’an dan as-Sunnah) selalu terpolakan menjadi dua, yaitu pola pemahaman tradisional-tekstual dan rasional-kontekstual. Pola yang pertama semata-mata hanya melihat bunyi teksnya, sedangkan yang kedua, selain memperhatika aspek internal (teksnya), juga menganalisis aspek eksternalnya (konteks sosiohistoris dan sosiokulturalnya).

Dengan kedua pola tersebut sebenarnya tidak dapat terlepas sama sekali dari teks dan rasio sehingga dengan demikian diharapkan kedua pola pendekatan ini tidak diperentangkan secara dikotomik, tetapi dipandang sebagai variasi dan dinamika pemahaman islam. Bentuk pemahaman tersebut menjelma menjadi produk ijtihad ulama terdahulu dan akhirnya menjadi suatu aliran atau madzhab, baik dalam aspek politik, ilmu kalam, fiqih, dan tasawuf. Semua itu merupakan dimensi Islam yang apabila dirangkum dalam sebuah pemahaman dan pengamalannya akan menampilkan islam kaffah (Islam yang utuh), yang didalamnya tercakup pemikiran, pemahaman, pengamalan, dan penghayatan terhadap al-Islam itu sendiri.

 

B.     Aktualisasi Nilai-nilai Islam

 

 Dalam konteks pemikiran sosiologis, Islam itu diturunkan oleh Allah SWT. Dalam konteks zamannya, dan dalam rangka memecahkanproblematika kemasyarakatan yang ada pada waktu itu. Sejalan dengan itu, maka harus memahami konteks yang tepat. Teks al-Qur’an dan al-Hadits perlu dilihat dengan konteks dan latar belakang perjuangan Nabi, bagaimana aktivitas dan perjuangannya di tengah-tengah adat istiadat, pranata, dan pandangan hidup orang-orang pada zaman itu, dan perlu pula dilihat bagaimana kehidupan ekonomi, hubungan politik, khususnya karakter-karakter Quraisy.

            Dalam rangka aktualisasi Islam terdapat empat aliran di kalangan sarjana Islam dalam aspek sosio-kultural, yakni pertama, modernis, suat pemikiran yang lebih menekankan aspek rasional sesuai dengan kondisi modern. Kedua, pemikiran neo-modernis, yaitu pemikiran yang meletakkan dasar moral keislaman dalam konteks rasional. Ketiga, sosialisme demokrasi, yaitu pemikiran yang ingin menegakkan keadilan pada masyarakat berdasarkan ajaan Islam. Keempat, universalis, yaitu pola pemikiran yang memandang Islam sebagai alternatif ideologis bukan sekedar ritual belaka.

            Dari  keempat pola pemikiran aktualisasi tersebut, perlu dikaji kelebihan dan kekurangannya. Uneversalis, Islam dapat dijadikan sebagai alternatif ideolgis, ini sebagai jalan keluar untuk menyelamatkan umat manusia dan peradabanya dari kerapuhan tatanan dunia saat ini. Bagi pola ini, Islam diharapkan sebagai faktor dominan dan komplement. Pemikiran ini sangat idealis dan menuntut pada aspek kehidupan manusia.

            Pola pemikiran yang dapat diterapkan dan tidak menemui masalah dan benturan yang berarti ialah neo-modernis dengan menempatkan Islam sebagai landasan spiritual, etika dan moral pembangunan umat manusia di dunia saat ini. Islam dipandang tidak memberikan jawaan matematis dan praktis, ia hanya berkemampuan merespon secara moral terhadap persoalan-persoalan modern. Dan disinilah letak kelemahannya, Islam dipandang sebagai suplement dan semata-mata legimitator terhadap kebijakan yang ada.

           

C.     Islam dan Budaya Lokal

 

Dalam konteks keindonesiaan ada dua organisasi keagamaan yang pada akhirnya mencerminkan dua aliaran pemikiran yang bersebrangan, yakni Muhammadiyah dan NU. Kedua pola pemikiran ini tidak terlepas dari sejarah politik umat Islam Indonesia. Yang satu mewakili muslim tradisional dan yang satu lagi mewakili muslim modernis. Akar “ketegangan” antara kedua organisasi tersebut sudah ada dampaknya sejak Muhammadiyah lahir tahun 1912, dan NU lahir tahun 1926.

Muhammadiyah yang dicurigai sebagai organisasi yang membawa perubahan mendasar terhadap ajaran Islam yang “ telah mapan”, membawa ajaran Wahabi yang purifikasionis dan Muhammad Abduh yang rasionalis, sehingga muncul reaksi dari kelompok yang menamakan diri “Nahdlatul Ulama” sebagai pengembang komite Hijaz.

Tradisi yang dikembangkan oleh NU sangat relevan dengan masyarakat Indonesia, yakni petani dan pengikut Syafi’i yang tinggal di pedesaan, yang tidak memungkinkan Islam berkembang secara rasional dan modernis. Paham Syafi’iyah lebih menekankan pada loyalitas kepada pemuka agama ( Ulama dan Kiai) dari pada subtansi ajaran Islam yang bersifat rasionalistik, dan dalam taraf tertentu menimbulkan sikap taqlid kepada ulama’ atau kiai tanpa syarat. Ajaran yang disampaikan lebih banyak ritual, dan disesuaikan dengan masyarakat setempat. Hal ini dapat berjalan dengan lancar, mengingat paham Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah lebih oleran dari pada yang lain.Dengan demikian Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah ini bukan hannya sebagai ideologi yang membedakan antara Sunni dan Non Sunni, melainkan juga memedakan antara tradisionalis dan modernis.

Kaum modernis yang diwakili oleh Muhammadiyah, yang bersemboyan kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, berupaya menumbuhkan ijtihad sebagaimana yang diutarakan oleh Ibn Taimiyah dan Muhammad Abduh, ingin mengikis habis bid’ah dan khufarat sebagaimana yang telah dilakukan oleh kelompok tradisionalis tersebut, sebagai budaya lokal yang berlaku di Jawa misalnya, seperti upacara untuk orang-orang yang sudah meninggal (setelah 3, 7, 40, 100, dan 1000 hari), dan disebut “slametan” (dari akar kata islam dan salam, yakni kedamaian atau kesejahteraan) atau bisa disebut Tahlilan dan lain-lain.

Tradisi ini bagi kaum tradisionalis yang diwakili oleh NU telah diislamkan, karena dengan suasana demikian sangat efektif untuk menanamkan jiwa tauhid. Banyak paham yang menjadikan mereka terliat “konflik”, antara lain qunut dan wirid sesudah shalat, membaca ushalli sebelum dimulai shalat, dan paham tasawuf dengan berbagai amalannya yang di formulasikan ke dalam tarekat. Paham ini terlihat oleh kaum modernis sebagai sesuatu yang bid’ah, tidak perlu diamalkan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kedua aliran ini termasu aliran Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah, yang sekarang dengan sendirinya ajaran fundamentalnya adalah sama, tetapi keduanya berbeda dalam cabang (khilafiyah furu’iyyah). Masalah akidah dan ibadah tidak ada masalah, hanya beberapa cabang (furu’) ibadah yang sedikit ada pebedaan. Muhammadiyah dianggap NU sebagai organisasi yang merusak tatanan kehidupan (budaya) yang telah mapan tersebut, dan sebaliknya, tidak disanksikan akan munculnya reaksi dari NU yang dianggap tradisionalis oleh Muhammadiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar