small rss seocips Music MP3
Let's listening The Music O.K Guys!!!

Rabu, 07 November 2012

Aqidah Islam dan Ritual Budaya dalam Umat Islam Jawa





Aqidah Islam dan Ritual Budaya dalam Umat Islam Jawa

 

A.    Pemahaman Islam

 

Antara Islam ideal dan Islam historis atau realitas yang menurut istilah Amin Abdullah (1986) Normatifas dan historitas tidak perlu di pertentangkan, tetapi perlu dipahami sebagai kontinyuitas yang sangat diniscayakan dalam rangka pembumian dan menerjamahkan Islam dalam konteks tertentu. Memang diakui bahwa umat Islamdalam memandang fenomena ajaran islam (al-Qur’an dan as-Sunnah) selalu terpolakan menjadi dua, yaitu pola pemahaman tradisional-tekstual dan rasional-kontekstual. Pola yang pertama semata-mata hanya melihat bunyi teksnya, sedangkan yang kedua, selain memperhatika aspek internal (teksnya), juga menganalisis aspek eksternalnya (konteks sosiohistoris dan sosiokulturalnya).

Dengan kedua pola tersebut sebenarnya tidak dapat terlepas sama sekali dari teks dan rasio sehingga dengan demikian diharapkan kedua pola pendekatan ini tidak diperentangkan secara dikotomik, tetapi dipandang sebagai variasi dan dinamika pemahaman islam. Bentuk pemahaman tersebut menjelma menjadi produk ijtihad ulama terdahulu dan akhirnya menjadi suatu aliran atau madzhab, baik dalam aspek politik, ilmu kalam, fiqih, dan tasawuf. Semua itu merupakan dimensi Islam yang apabila dirangkum dalam sebuah pemahaman dan pengamalannya akan menampilkan islam kaffah (Islam yang utuh), yang didalamnya tercakup pemikiran, pemahaman, pengamalan, dan penghayatan terhadap al-Islam itu sendiri.

 

B.     Aktualisasi Nilai-nilai Islam

 

 Dalam konteks pemikiran sosiologis, Islam itu diturunkan oleh Allah SWT. Dalam konteks zamannya, dan dalam rangka memecahkanproblematika kemasyarakatan yang ada pada waktu itu. Sejalan dengan itu, maka harus memahami konteks yang tepat. Teks al-Qur’an dan al-Hadits perlu dilihat dengan konteks dan latar belakang perjuangan Nabi, bagaimana aktivitas dan perjuangannya di tengah-tengah adat istiadat, pranata, dan pandangan hidup orang-orang pada zaman itu, dan perlu pula dilihat bagaimana kehidupan ekonomi, hubungan politik, khususnya karakter-karakter Quraisy.

            Dalam rangka aktualisasi Islam terdapat empat aliran di kalangan sarjana Islam dalam aspek sosio-kultural, yakni pertama, modernis, suat pemikiran yang lebih menekankan aspek rasional sesuai dengan kondisi modern. Kedua, pemikiran neo-modernis, yaitu pemikiran yang meletakkan dasar moral keislaman dalam konteks rasional. Ketiga, sosialisme demokrasi, yaitu pemikiran yang ingin menegakkan keadilan pada masyarakat berdasarkan ajaan Islam. Keempat, universalis, yaitu pola pemikiran yang memandang Islam sebagai alternatif ideologis bukan sekedar ritual belaka.

            Dari  keempat pola pemikiran aktualisasi tersebut, perlu dikaji kelebihan dan kekurangannya. Uneversalis, Islam dapat dijadikan sebagai alternatif ideolgis, ini sebagai jalan keluar untuk menyelamatkan umat manusia dan peradabanya dari kerapuhan tatanan dunia saat ini. Bagi pola ini, Islam diharapkan sebagai faktor dominan dan komplement. Pemikiran ini sangat idealis dan menuntut pada aspek kehidupan manusia.

            Pola pemikiran yang dapat diterapkan dan tidak menemui masalah dan benturan yang berarti ialah neo-modernis dengan menempatkan Islam sebagai landasan spiritual, etika dan moral pembangunan umat manusia di dunia saat ini. Islam dipandang tidak memberikan jawaan matematis dan praktis, ia hanya berkemampuan merespon secara moral terhadap persoalan-persoalan modern. Dan disinilah letak kelemahannya, Islam dipandang sebagai suplement dan semata-mata legimitator terhadap kebijakan yang ada.

           

C.     Islam dan Budaya Lokal

 

Dalam konteks keindonesiaan ada dua organisasi keagamaan yang pada akhirnya mencerminkan dua aliaran pemikiran yang bersebrangan, yakni Muhammadiyah dan NU. Kedua pola pemikiran ini tidak terlepas dari sejarah politik umat Islam Indonesia. Yang satu mewakili muslim tradisional dan yang satu lagi mewakili muslim modernis. Akar “ketegangan” antara kedua organisasi tersebut sudah ada dampaknya sejak Muhammadiyah lahir tahun 1912, dan NU lahir tahun 1926.

Muhammadiyah yang dicurigai sebagai organisasi yang membawa perubahan mendasar terhadap ajaran Islam yang “ telah mapan”, membawa ajaran Wahabi yang purifikasionis dan Muhammad Abduh yang rasionalis, sehingga muncul reaksi dari kelompok yang menamakan diri “Nahdlatul Ulama” sebagai pengembang komite Hijaz.

Tradisi yang dikembangkan oleh NU sangat relevan dengan masyarakat Indonesia, yakni petani dan pengikut Syafi’i yang tinggal di pedesaan, yang tidak memungkinkan Islam berkembang secara rasional dan modernis. Paham Syafi’iyah lebih menekankan pada loyalitas kepada pemuka agama ( Ulama dan Kiai) dari pada subtansi ajaran Islam yang bersifat rasionalistik, dan dalam taraf tertentu menimbulkan sikap taqlid kepada ulama’ atau kiai tanpa syarat. Ajaran yang disampaikan lebih banyak ritual, dan disesuaikan dengan masyarakat setempat. Hal ini dapat berjalan dengan lancar, mengingat paham Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah lebih oleran dari pada yang lain.Dengan demikian Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah ini bukan hannya sebagai ideologi yang membedakan antara Sunni dan Non Sunni, melainkan juga memedakan antara tradisionalis dan modernis.

Kaum modernis yang diwakili oleh Muhammadiyah, yang bersemboyan kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, berupaya menumbuhkan ijtihad sebagaimana yang diutarakan oleh Ibn Taimiyah dan Muhammad Abduh, ingin mengikis habis bid’ah dan khufarat sebagaimana yang telah dilakukan oleh kelompok tradisionalis tersebut, sebagai budaya lokal yang berlaku di Jawa misalnya, seperti upacara untuk orang-orang yang sudah meninggal (setelah 3, 7, 40, 100, dan 1000 hari), dan disebut “slametan” (dari akar kata islam dan salam, yakni kedamaian atau kesejahteraan) atau bisa disebut Tahlilan dan lain-lain.

Tradisi ini bagi kaum tradisionalis yang diwakili oleh NU telah diislamkan, karena dengan suasana demikian sangat efektif untuk menanamkan jiwa tauhid. Banyak paham yang menjadikan mereka terliat “konflik”, antara lain qunut dan wirid sesudah shalat, membaca ushalli sebelum dimulai shalat, dan paham tasawuf dengan berbagai amalannya yang di formulasikan ke dalam tarekat. Paham ini terlihat oleh kaum modernis sebagai sesuatu yang bid’ah, tidak perlu diamalkan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kedua aliran ini termasu aliran Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah, yang sekarang dengan sendirinya ajaran fundamentalnya adalah sama, tetapi keduanya berbeda dalam cabang (khilafiyah furu’iyyah). Masalah akidah dan ibadah tidak ada masalah, hanya beberapa cabang (furu’) ibadah yang sedikit ada pebedaan. Muhammadiyah dianggap NU sebagai organisasi yang merusak tatanan kehidupan (budaya) yang telah mapan tersebut, dan sebaliknya, tidak disanksikan akan munculnya reaksi dari NU yang dianggap tradisionalis oleh Muhammadiyah.

Senin, 05 November 2012

Wilayah Kajian Ilmu Dakwah



                                                             BAB I                                                                  
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG                                               
      Aktivitas dakwah sudah ada sejak adanya tugas dan fungsi yang harus diemban oleh manusia, yakni untuk penyelamatan alam semesta dan untuk keselamatan manusia itu sendiri. Namun aktivitas dakwah seringkali dipahami oleh masyarakat awam sebagai aktivitas praktis, yakni penyampaian ajaran Islam secara lisan tabligh.
     Dakwah sebagai sebuah disiplin ilmu terdapat banyak aspek yang perlu dikembangkan, seperti masalah kejelasan tentang pengertian ilmu dakwah dan wilayah kajian ilmu dakwah. Hal ini amat penting dikaji,mengingat ilmu dakwah belum terakumulasi epistemologinya secara jelas. Dalam sebuah kerangka bangunan keilmuwan yang utuh. Untuk itu, diperlukan kajian yang mendalam mengenai wilayah kajian ilmu dakwah. Aspek wilayah kajian ilmu dakwah terdiri dari nilai normatif dan empiris. Nilai normatif wilayah kajian ilmu dakwah yaitu wilayah dakwah dalam al-quran , hadist dan sejarah nabi. Sedangkan nilai empirisnya wilayah dakwah dalam kenyataan masyarakat.
    
B.  RUMUSAN MASALAH

                Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah ini akan membahas beberapa hal sebagai berikut :

1.              Apakah  pengertian dawah dan ilmu dakwah?
2.              Apasajakah wilayah kajian ilmu dakwah?
3.              Membedakan wilayah kajian dakwah dalam masing-masing jurusan pada fakultas dakwah.

C.  TUJUAN  PENULISAN

1.              Dapat memahami pengertian dakwah dan ilmu dakwah.
2.              Dapat memahami wilayah kajian ilmu dakwah.
3.              Dapat membedakan wilayah kajian dakwah dalam masing-masing jurusan pada fakultas dakwah.


BAB II
PEMBAHASAN
                                                                                              
A.    Pengertian Dakwah dan Ilmu Dakwah

a.       Definisi  da’wah secara umum.
Definisi da’wah secara umum ialah mengajak manusia dengan cara yang bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Allah, untuk kemashlahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan juga di akhirat.
b.      Definisi ilmu da’wah menurut Islam.
Definisi ilmu da’wah secara umum adalah suatu ilmu pengetahuan yang berisi cara-cara dan tuntunan, bagaimana seharusnya menarik perhatian manusia supaya menganut, menyetujui, dan melaksanakan sesuatu idiologi, pendapat-pendapat, pekerjaan-pekerjaan tertentu dan lain-lain.
c.       Definisi dakwah lainya.

Menurut Profesor A. Hasyim, dalam bukunya Dustur Dakwah dalam Al- Qur’an pada halaman 28 menyatakan sebagai berikut:
“Dakwah islamiyah yaitu mengajak orang untuk meyakini dan mengamalkan aqidah dan syariah Islam yang terlebih dahulu telah diyakini dan diamalkan oleh pendakwah sendiri”.
Menurut Ustadz Abu Bakar Zakaria dalam kitabnya “ Ad Dakwah Ilall Islam”, mengemukakan rumusan dakwah dengan rumusan sebagai berikut:
“Usaha para Ulama’ dan orang-orang yang memiliki pengertian tentang Agama Islam untuk memberikan pengajaran kepada khalayak umum hal-hal yang menimbulkan pengertian mereka berkenaan dengan urusan agama dan keduniaanya menurut kemampuan”.

Dari uraian yang penulis kemukakan diatas, maka dakwah tidak sama artinya dengan penerangan, penyiaran, pendidikan, pengajaran, dan tidak sama pula dengan indoktrinasai dan propaganda.[1]
Meskipun definisi dakwah itu berbeda-beda dalam perumusan, tetapi apabila
dibandingkan satu sama lain, dapatlah diambil kesimpulan sebagai berikut:
a.       Dakwah itu adalah merupakan proses penyelenggaraan suatu usaha atau aktifitas yang dilakukan dengan sadar dan dengan sengaja.
b.      Usaha yang diselenggarakan itu adalah berupa:
-Mengajak orang untuk beriman dan mentaati Allah SWT. atau memeluk agama islam.
-Amar ma’ruf perbaikan dan pembangunan masyarakat (Ishlah).
-Nahi Munkar.
c.   Proses penyelenggaraan usaha tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu kebahagian dan kesejahteraan hidup yang diridhoi oleh Allah SWT.[2]

B.     Wilayah Kajian Ilmu Dakwah
Wilayah kajian dakwah disini terbagi menjadi dua aspek yaitu: secara normatif dan secara empiris.
1.      Normatif
Wilayah kajian ilmu dakwah secara normatif pada intinya berusaha menemukan prinsip dakwah dari sumber normatif yaitu: Al- Qur’an, Hadits, Maupun sejarah Rasulullah.


a.       Al- Qur’an
Dalam Al-Qur’an banyak sekali diungkapkan kisah yang penuh “ibrah”. Setelah menceritakan kisah nabi yusuf, Allah SWT. Berfirman:
“Sesungguhnya pada kisah-kisah itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Quran bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS.Yusuf[12]: 111).
Sejarah dalam Al- Qur’an adalah sejarah yang mengungkap tentang siklus kehidupan dan sunnatullah yang tidak pernah berubah. Al- Qur’an selalu mengungkap pertarungan antara yang hak dan yang batil, yang pada akhirnya kemenangan akan selalu berada pada pihak yang membela kebenaran. Al-Qur’an juga merubah persepsi manusia tentang kemenangan yang lebih diartikan dengan kesuksesan meraih sesuatu yang dicita-citakan di dunia. Kemenangan menurut Al- Qur’an adalah kekuatan memperetahankan keistikomahan dan ketegaran prinsip tauhid sampai ajal menjemput. Dalam Al- Qur’an banyak bercerita kepada kita tentang tingkah polah umat manusia terdahulu yang akhirnya mendapat azab dari Allah, dan dan bagaimana kiat-kiat para mushlihun (reformis) pada zamanya untuk menyelamatkan masyarakat dari azab Allah.
Kadang-kadang Allah mengungkapkan cerita tersebut dengan redaksi singkat, dalam waktu yang lain diungkap dengan redaksi sedang dan kadang-kadang dengan redaksi yang panjang. Tujuannya adalah agar sunnatullah tersebut (kemenangan pasti ditangan pejuang kebenaran) tertanam kokoh di dalam diri dan terhujam di dalam hati, sehingga keputusan tidak mendapatkan celah untuk menyelinap masuk ke hati para da’i reformis. Al- Qur’an sering menghibur Nabi Muhammad SAW. Dengan sejarah Nabi sebelum beliau.
Al- Qur’an sering memerintah beliau untuk bersabar dan bertameng ridho, karena kunci sukses orang-orang hebat di mata Allah adalah kesabaran mereka menghadapi tantangan dalam perjuangan. Allah berfirman:
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta di segerakan (azab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.” (QS. Al- Ahqaf : 35).
Jika Allah telah mendidik Nabi Muhammad dengan sejarah Nabi sebelumnya, maka penerus dakwah hari ini seharusnya lebih bersemangat untuk mengambil inspirasi dari dakwah mereka, apalagi zaman kita yang telah penuh dengan kemungkaran, bid’ah, kerusakan aqidah,  dan berbagai penyakit lainnya[3].
b.      Hadits
Umat Islam diharuskan untuk berdakwah dalam selalu mengajak kepada kebaikan dan saling mengingatkan apabila ada kemunkaran. Sebagian ada yang mengartikan sebagai keharusan setiap individu dan sebagian mengartikan sebagai keharusan secara kolektif, tetapi secara garis besarnya berdakwah adalah keharusan bagi umat Islam yang tercantum di dalam Alquran maupun Hadis Nabi SAW.
Sehingga dalam proses serta pelaksanaannya, umat Islam perlu untuk mengetahui dan memahami makna, unsur, metode, dan semua hal yang terkait dengan faktor pendukung keberhasilan dakwah. Berkaitan dengan hal tersebut, pemahaman terhadap metode dakwah sebagai salah satu faktor pendukung dalam keberhasilan dakwah menjadi sesuatu yang urgen.
Istilah metode dakwah seperti yang tertera di dalam Alquran pada prinsipnya merujuk kepada surah an-Nahl ayat 125 yang menyebutkan bahwa metode pelaksanaan dakwah ada 3 yaitu dakwah dengan kebijaksanaan, dakwah dengan memberikan pelajaran yang baik, dan dakwah dengan membantah atau berdebat dengan cara yang baik.
Pemahaman terhadap metode dakwah yang telah disebutkan di dalam Alquran tersebut dapat diaplikasikan dengan menggunakan metode yang diajarkan oleh Rasulullah selaku pelopor dakwah islamiyah, seperti yang tertera di dalam redaksi Hadis riwayat imam Bukhari dan imam Muslim sebagai berikut:
Barang siapa di antara kalian melihat kemunkaran, maka cegahlah dengan tangannya (kekuasaan), apabila tidak mampu maka dengan lidahnya, apabila tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.”
Berdasarkan Hadis tersebut dapat dipahami bahwa metode dakwah yang disebutkan di dalam Alquran mempunyai integritas dengan metode dakwah yang tertera di dalam Hadis, maksudnya adalah bahwa pelaksanaan metode dakwah yang ada di dalam Alquran dengan menggunakan metode dari Hadis seperti yang disebutkan di atas.
Sehingga dapat dipahami bahwa Hadis merupakan salah satu landasan metode dalam melaksanakan dakwah, selain didasarkan kepada metode dakwah yang dilaksanakan Rasulullah dalam menyebarkan agama Islam. Konsep seperti ini merupakan modal utama bagi para da’i (pelaksana dakwah), sehingga pemahaman terhadap metode dakwah yang terdapat di dalam Hadis sangat diperlukan untuk pencapaian hasil yang lebih optimal dengan persentase keberhasilan dakwah mencapai taraf yang signifikan.
Ahmad Janawi di dalam tulisannya yang dimuat di dalam jurnal dakwah Alhadharah, menyebutkan bahwa sukses atau tidaknya suatu dakwah tidak diukur dari banyaknya jemaah (mad’u), atau ekspresi yang ditampilkan oleh jemaah tersebut seperti tangis, gelak-tawa, dan sebagainya, karena hal tersebut merupakan indikator, dan disebutkan bahwa nilai sukses suatu dakwah diukur melalui bekas (atsar) yang ditinggalkan di dalam benak mad’u, dalam artian memberikan kesan dan dengan harapan dari kesan tersebut memberikan stimulan kepada mad’u untuk dapat mengaplikasikan di dalam kehidupan (2003: 21).[4]
 

c.       Sejarah Rasulullah

Perjalanan dakwah dirintis dan dikembangkan oleh Nabi Muhammad sejak dia pertama kali menerima wahyu (QS Al-Muddatsir) sebagai rosul terakhir. Rasulullah tampil sebagai da’i pertama di tengah-tengah masyarakat Arab Jahiliyyah dengan membawa ajaran Islam yang dianggap asing oleh masyarakat Makkah karena berlawanan dengan keyakinan yang diwariskan nenek moyang mereka sejak bertahun- tahun lamanya,turun-temurun.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dakwah Rasulullah berlangsung kurang lebih 23 tahun, dibagi menjadi dua periode, yakni Era Makkah dan Era Madinah[5]. Dakwah Rasuluullah dimulai sejak wahyu pertama turun (Surat Al-alaq 1-5) yang dikenal dengan nama “Nuzulul Qur’an”, tanggal 17 Ramadhan 13 tahun sebelum hijriah (610 M) sampai hijrah beliau ke Madinah,bulan Rabi’ul Awal,awal tahun 1 Hijriah.
Era Makkah lebih lama dibandingkan dengan Era Madinah, walaupun pengikut yang diperoleh lebih sedikit, hal ini karena pada Era Makkah dakwah islam dalam tahap perintisan (belum banyak pendukung). Disamping banyak tantangan dan hambatan dari Kaum Kurasy, sehingga untuk menyebarkan ajaran islam secara leluasa tidak memungkinkan[6]. Disini Rasulullah menyebarkan dakwahnya secara rahasia dan terang-terangan.

1.      Dakwah secara rahasia

Setelah Nabi Muhammad bertahun-tahun bertahanuts di Gua Hiro, akhirnya beliau memperoleh apa yang dicari, yakni kebenaran sejati dari Allah, wahyu yang mengandung nilai kebenara universal. Kejadian itu beliau ceritakan kepada Siti Khadijah istri tercintanya.[7]
      Setelah wahyu pertama turun, kemudian diikuti wahyu kedua (surat Al-Qalam), wahyu yang ketiga (surat Al-Muzamil),dan yang keempat (surat Al-Mudatsir). Wahyu yang keempat ini berisikan pokok pembentukan pribadi Muslim yang bertauhid dan perintah mendakwahkan ajaran itu kepada kaumnya, mengajak mereka agar mereka beribadah menyembah kepada Allah.
      Pada periode ini, Nabi mendakwahkan ajarannya pada lingkungan rumah tangga beliau.Setelah istrinya masuk Islam kemudian diikuti pula Ali bin Abi Thalib putra pamannya serta Zaid bin Harits, bekas budak beliau. Mereka berdua menerima dakwah dengan sepenuh hati.Rasulullah melangkah setapak demi setapak dari rumah tangga beliau kemudian beranjak menuju teman-teman karibnya yang setia.Akhirnyapun Abu Bakar mengikuti ajakan Nabi untuk mengikuti agama islam yang dirindukan selama hidupnya.[8]
      Dakwah dengan cara seperti ini telah berhasil mengislamkan 30 orang lebih (dari berbagai kalangan). Kemudian kegiatan dipusatkan di rumah Arqam bin Abil Arqam, sebagai tempat pertemuan, pembinaan, dan pengajaran. Dengan cara seperti ini, akhirnya berhasil mengislamkan 40 orang laki-laki dan wanita (M.Said Ramadhan; 105), yang terdiri dari orang-orang tingkat menengah ke bawah.[9]
      Dakwah Rasul yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi ini secara mengagumkan telah membawa hasil yang berarti walaupun secara kuantitas belum membawa hasil yang baik tapi secara kualitas telah dapat mengislamkan tokoh-tokoh terpandang.[10]

 
2.      Dakwah secara terang-terangan
     
      Setelah Nabi berdakwah secara rahasia selama tiga tahun (diawali dari rumah tangganya sendiri kemudian diteruskan kepadateman karibnya) dalam situasi yang penuh tantangan, beliau melangkah lebih maju dengan datangnya wahyu Al- Qur’an surat Al-Hijr: ayat 94, “Siarkanlah apa-apa yang diperintahkan kepadamu dan janganlah pedulikan orang musyrik!”. Pada waktu itu Rasulullah segera melaksanakan perintah Allah, kemudian menyambut firman Allah surat Al- Hijr : ayat 94 seraya pergi ke bukit Shafa untuk memanggil nama-nama orang besar suku Arab. Maka Nabi berkata: “Bagaimana pendapat kalian jika aku kabarkan bahwa di belakang gunung ini ada sepasukan musuh berkuda dan akan menyerang kalian, apakah kalian mempercayaiku?” Jawab mereka: “Ya, kami percaya, kami tidak pernah melihat kamu berdusta!”. Selanjutnya, kata Nabi: “Ketahuilah, aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kalian dari siksa neraka yang pedih!”. Dengan tindakannya Nabi mendapat tamparan yang pertama dari Abu Lahab, dengan mengatakan: “Sesungguhnya celakalah kamu sepanjang hari ini hanya untuk ini kau kumpulkan kami?” (Husain Hikal: 104). Mendengarkan hal itu Nabi tertegun sejenak kemudian turun wahyu surat Al-Lahab, sebagai jawabanya.[11]
      Kemudian, Rasulullah turun dan melaksanakan firman Allah surat Asy- Syura: 214-215, agar beliau berdakwah kepada keluarga dekatnya. Maka, Muhammad pun mengundang makan keluarga-keluarga itu ke rumahnya, dicobanya bicara dengan mereka dan mengajak mereka untuk menyembah kepada Allah, tetapi Abi Thalib pamanya, menyetop pembicaraan itu, ia mengajak orang-orang pergi meninggalkan tempat tersebut.[12] Walaupun keluarganya banyak yang menentang bahkan mengancam keselamatan beliau, hal ini justru menjadi pendorong gerak Rasulullah lebih maju lagi.[13]
      Pada periode ini, Islam telah diperkuat dengan masuk islamnya dua tokoh Kuraisy, yakni Hamzah (paman Nabi) dan Umar bin Khatab, keduanya pahlawan Kuraisy yang gagah berani, sebelumnya Umar penentang utama dakwah Nabi. Dengan Islamnya dua tokoh ini kaum muslimun berani melakukan shalat atau ibadah terang-terangan di pinggir Ka’bah.[14]
      Disamping itu, dari peristiwa ini menggambarkan bahwa dalam kesulitan yang berat Allah selalu memberikan pertolongan kepada hamba dan Nabi-Nya. Dan juga merupakan landasan bagi hijrahnya Rasul ke Madinah serta adanya gambaran akan terbentuknya lembaran baru dakwah Islam melalui usaha jihad.[15]
      Keberhasilan dakwah Rasulullah tidak dengan mudah, namun ditempuh dengan menghadapi seribu satu macam ancaman, hambatan, dan siksaan lahir dan batin. Untuk menghadapi itu semua ditompang dengan kekuatan dan sifat batin yang kuat yakni iman yang terpancar dari dalam jiwanya yang melahirkan sifat perilaku dan tutur kata yang penuh hikamah yang telah melekat pada dirinya. Sehingga dalam menghadapi berbagai macam tantangan, cobaan, dan siksaan selalu tabah, sabar, dan penuh dengan sikap optimis.[16]

2.      Empiris

        Pada hakikatnya, manusia diciptakan dalam kondisi yang cenderung pada agama Allah. Dan sejak dalam kandungan manusia sejati telah “ teken kontarak perjanjian” (melakukan persaksian) bahwa Allah adalah Tuhannya. Allah sendiri telah melengkapi manusia dengan dua fungsi yaitu sebagai khalifah dan hamba atau pengadilan.
     Manusia selalu dihadapkan dengan berbagai macam tantangan, godaan, dan rintangan, yang menggoda fitrahnya, baik yang dibisikan hawa nafsunya sendiri ataupun oleh syaitan. Dalam posisi seperti itu manusia harus antara baik atau buruk. Oleh sebab itu, Allah memberikan jembatan dakwah kepada manusia agar ia tetap berjalan secara konsisten dan eksis dalam fitrahnya, yakni selalu berada memilih dalam jalan Tuhannya (QS. An-Nahl : 125)
ﺃﺪﻉ ﺇﻠﻰ ﺴﺑﻴﻝ ﺭﺑﻚ ﺑﺎﻠﺤﻜﻤﺔ ﻮﺍﻠﻤﻮﻋﻈﺔ ﺍﻠﺤﺴﻨﺔ ﻮﺠﺍﺪﻠﻬﻤ ﺑﺎﻠﺗﻲ ﻫﻲ ﺃﺤﺴﻦ ﺇﻦ ﺮﺑﻚ ﻫﻮ ﺃﻋﻠﻡ ﺑﻤﻦ ﺿﻞ ﻋﻦ ﺴﺑﻴﻠﻪ ﻮﻫﻮ ﺃﻋﻠﻡ ﺑﺎﻠﻤﻬﺘﺪﻴﻦ {125} 
        Dalam ayat diatas, sejauh terkait dengan manusia sebagai sasaran dan pelaku dakwah, ada tiga hal yang perlu digaris bawahi, yakni: (1) Mengajak (merayu) manusia kembali ke Jalan Tuhan. (2) Manusia yang sesat dari jalan-Nya. (3) Manusia yang dapat petunjuk.
     Fungsi dakwah pada ayat di atas adalah mengajak manusia yang sesat dan menyimpang dari ajaran Tuhan (syari’at agama) atau orang yang keluar dari fitrah kejadiannya, supaya kembali keposisi semula dengan menjaga yang sudah eksis pada fitrahnya agar tidak tercemar. Kemudian dalam ayat tersebut, Allah telah memastikan bahwa ia lebih mengetahui orang-orang yang sesat dan yang mendapat petunjuk. Di sini dakwah tetap menjadi suatu keharusan karena dalam hal ini urusan petunjuk atau sesat adalah hak mutlak Allah, dakwah dan dai atau manusia adalah ikhtiar semata.
     Inti pandangan dakwah terhadap manusia terletak pada sifat dasar manusi yang baik (fitrah Allah). Maka, dalam hal ini, dakwah memandang manusia dengan prasangka baik (husnuzhan). Dalam ayat di atas tercermin statemen hikmah, yang menurut Mach Foedl memiliki makna adil dan persangkaan baik (Mach foedl 1975:41). Maka, jika seseorang telah berbuat salah atau sesat dari jalan Allah, dakwah akan mengatakan bahwa Allah adalah Maha Pengampun, tidak ada alasan bagi dakwah untuk berputus asa dalam usaha mengajak manusia kembali ke jalan Allah.[17] Posisi dakwah dalam hal ini adalah upaya atau proses mengajak dan menyeru umat manusia agar kembali atau tetap berada serta meningkatkan dirinya dalam fitrahnya dan pada jalan Allah, yakni dalam ketuhanan, social, dan etika sesuai ajaran Islam seperti fitrah yang dimilikinya sejak “teken kontara illahi” sejalan dengan dasar penciptaannya, sehingga dalam kehidupan ini terwujud umat manusia yang baik (khairul bariyah) yang berkumpul menjadi masyarakat yang khairul ummah.


C.    Wilayah Kajian Ilmu Dakwah Pada Jurusan Dalam Fakultas Dakwah UIN SUKA

Menurut Syukriyadi Sambas ilmu dakwah terdiri atas empat disiplin ilmu yakni:
1.      Ilmu Tabligh untuk KPI
Antara lain yang dipelajari adalah sebagai berikut:
a.       Studi Khitobah/ Pidato.
b.      Studi Pers Dakwah.
c.       Studi Radio.
d.      Studi Televisi.
e.       Studi Perfilman.

2.      Ilmu Tahtwir untuk PMI / IKS
Antara lain yang dipelajari adalah sebagai berikut:
a.       Studi Pengembangan Komunitas Muslim.
b.      Pengemangan Ekonomi Umat
c.       Pengembangan Sumberdaya Lingkungan.

3.      Ilmu Tadbir untuk MD
Antara lain yang dipelajari adalah sebagai berikut:
a.       Studi Managemen dan Organisasi Dakwah.
b.      Studi Managemen Bank dan Ekonomi Islam.
 
4.      Ilmu Irsyad untuk BKI
Antara lain yang dipelajari adalah sebagai berikut:
a.       Studi Bimbingan.
b.      Studi Penyuluhan / Konseling.
c.       Studi Psikoterapi.
Yang ini semua ditunjangkan kepada mahasiswa dalam pengembangan dakwahnya dalam masyarakat dewasa ini, agar dakwah tetap eksis dalam kancah modern ini dan ada penerusnya dari awal Nabi Adam As. sampai sekarang ini.

 
PENUTUP
KESIMPULAN


Kesimpulan yang kami dapat ambil dari makalah ini adalah bahwa dakwah merupakan suatu tindakan mengajak manusia dengan cara yang bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Allah, untuk kemashlahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan juga di akhirat. Dan ilmu dakwah merupakan suatu ilmu pengetahuan yang berisi cara-cara dan tuntunan, bagaimana seharusyna menarik perhatian manusia supaya menganut, menyetujui, dan melaksanakan sesuatu idiologi, pendapat-pendapat, pekerjaan-pekerjaan tertentu dan lain-lain. Dan dalam penyampaian dakwah itupun ada batasan atau kajian wilayah tertentu yaitu secara normatif yang meliputi Al- Qur’an, Hadits, dan, Sejarah Nabi. Dan juga secara empiris yaitu dngan melihat keadaan atau kenyataan dalam masyarakat setempat.









                                                                          




[1] Ilaihi. Wahyu, dan Hefni. Harjani, Pengantar Sejarah Dakwah (Jakarta: Kencana, 2007) hlm. 5-6
[2] Ibid., hlm.6
[3] Ilaihi. Wahyu,dan Hefni. Harjani, Pengantar Sejarah Dakwah (Jakarta: Kencan,2007) hlm. 6
[4] www.google.com
[5] Suisyanto, Pengantar Filsafat Dakwah (Yogyakarta: Teras, 2006) hlm. 122
[6] Ibid., hlm. 121-122
[7] Ibid., hlm. 122
[8] Suisyanto, Pengantar Filsafat Dakwah (Yogyakarta: Teras, 2006) hlm. 123
[9] Ibid., hlm. 124
[10] Ibid., hlm. 124
[11] Suisyanto, Pengantar Filsafat Dakwah (Yogyakarta: Teras, 2006) hlm. 125-126
[12] Ibid., hlm. 126
[13] Suisyanto, Pengantar Filsafat Dakwah (Yogyakarta: Teras, 2006) hlm. 127
[14] Ibid., hlm. 128
[15] Ibid., hlm. 134
[16] Ibid., hlm. 135
[17] Suisyanto, Pengantar Filsafat Dakwah (Yogyakarta: Teras, 2006) hlm. 85-87